Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2025

Puisi: Tangis Mama di Tanah yang Dirampas

Gambar
Oleh:Yulianus Kebadabi Kadepa  Mama duduk di tanah yang tak lagi ramah, Di mana dulunya mama menanam, ubu, sayur-sayuran, menari, dan bernyanyi Langit masih biru, tapi seolah tak mendengar, Betapa hancur isi bumi yang mama cintai “Dulu burung bernyanyi dari pohon ke pohon,” Katanya pelan, “sekarang suara yang datang…  Cuma mesin dan debu tambang.”   Langit yang dulu jadi sahabat, Kini memandangnya dengan dingin, Seperti ikut diam Saat tanahnya dicuri Atas nama pembangunan Pemerintah Indonesia datang membawa kertas dan peta, Bukan kapak batu, bukan tifa suci Tak ada salam adat, tak ada minta ijin Hanya tanda tangan dan janji-janji kosong          “Tanah ini kami beli,” kata mereka. Tapi siapa yang menjual? Siapa yang izinkan pohon sagu ditebang?  Siapa yang berani serahkan leluhur kepada mesin? Mama hanya memeluk tanah dengan menangis, Tanah yang tak bicara, Tapi mengerti betul siapa pemilik sejatinya Anaknya pulang dari kota, Membawa pertanya...

Tampil Seperti Angin Lewat

Gambar
  (Refleksi Nilai Kehidupan dalam Filosofi Suku Mee) Oleh: Yulianus Kebadabi Kadepa  Dalam kehidupan manusia, kehadiran bukan sekadar terlihat, tetapi juga harus bermakna. Frasa “tampil seperti angin lewat” melambangkan kehadiran yang cepat, ringan, tanpa kesan, dan tanpa tanggung jawab. Orang seperti ini datang dan pergi tanpa bekas, tanpa kontribusi, tanpa perhatian terhadap kehidupan sekitarnya. Dalam filsafati hidup suku Mee di Papua, cara hidup seperti ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi dalam komunitas. Suku Mee memiliki prinsip hidup yang kuat: Dou (melihat), Gai (berpikir), Ekowai (bekerja), dan penulis tambahkan lagi Ewanaibi (menjaga). Keempat kata ini membentuk kerangka nilai dalam berkehidupan, bermasyarakat, dan menjadi manusia yang bermartabat. Dou (Melihat) Menyaksikan Kehidupan dengan Kesadaran Dalam pandangan suku Mee, melihat tidak hanya berarti menggunakan mata, tetapi menyadari dan memahami realitas kehidupan di sekit...

Puisi: Jiwa-jiwa Terluka di Papua

Gambar
  Untuk tanah yang disayang, tapi sering disakiti Oleh: Yulianus Kebadabi Kadepa  Di ujung timur negeri Papua  Tempat pagi lebih dulu lahir, Ada tanah luas, hijau, dan suci  Namun berlumur luka yang tak pernah hilang. Langitnya biru.. Tapi air matanya jernih dan bersih Di balik lembah dan gunung sunyi, Tinggal jiwa-jiwa yang terus dikhianati oleh kolonialisme Indonusa  Masyarakat tidak meminta banyak Bukan istana, bukan tambang, bukan kuasa, Hanya sepetak damai, Untuk hidup sebagai manusia sepenuhnya Anak-anak bersembunyi di balik semak, Mereka belajar mengenal peluru sebelum abjad. Ibu-ibu memeluk sunyi, Menunggu kepulangan yang tak pernah tiba. Suara mereka pelan, Karena dunia sudah lebih dulu membungkam, Mereka tak menjerit, Karena jeritan pun sering dituduh makar. Namun meski dibungkam, mereka tak hilang, Meski ditindas, mereka tetap berdiri. Mereka bukan serpihan pinggiran republik Indonesia  Mereka adalah akar, yang menyangga negeri Papua Di tanah Pa...

Bangkitlah Damai di Tanah Papua Bersama Hari Kenaikan Tuhan Yesus Kristus

Gambar
  Martinus Degouwobou Tenouye Sebagai momen agung ketika Sang Juruselamat naik ke surga, empat puluh hari setelah kebangkitan-Nya. Peristiwa ini bukan hanya menandai akhir dari kehadiran fisik Yesus di bumi, tetapi juga meneguhkan janji-Nya bahwa Dia akan tetap menyertai umat-Nya melalui Roh Kudus, serta memberikan misi suci kepada para murid: menjadi saksi-Nya sampai ke ujung bumi. Yesus memberikan saksi-Nya kepada para murid adalah mewartakan kasih kepada seluruh dunia, wartakan kasih kepada seluruh dunia itu kepada siapa saja. Apa yang Tuhan Yesus dimaksudkan wartakan kasih kepada seluruh dunia atau wartakan kasih kepada orang-orang yang sangat membutuhkan kasih dan damai. Yang Yesus maksudkan adalah mengajar, memimpin, mewartakan dan berdoa. Dalam konteks Papua sekarang sangat membutuhkan orang-orang yang benar benar mewartakan kasih dan terutama membela kebenaran dan keSetiap tahun, umat Kristen di seluruh dunia merayakan Hari Kenaikan Tuhan Yesus Kristus adilan di atas tanah...

Renungan Hari Raya Kenaikan Tuhan Yesus Kristus

Gambar
  (Yesus Naik ke Surga, Tapi Tetap Bersama Kami di Papua) Bacaan: Kisah Para Rasul 1:9-11 " Yesus ini, yang terangkat ke surga, akan datang kembali..." Oleh: Yulianus Kebadabi Kadepa  Di Papua, kita hidup dengan banyak pergumulan, seperti konflik, kekerasan dan pembunuhan. Dan juga kita tahu rasa sakit ketika tanah adat diambil tanpa suara kita didengar. Kita tahu sedih saat anak-anak tidak bisa sekolah karena guru tidak datang. Kita tahu bagaimana rasanya berdoa agar anggota keluarga yang hilang kembali, atau agar ada damai di kampung kita. Lalu di tengah semua ini, kita merayakan kenaikan Tuhan Yesus ke surga. Apakah Yesus pergi dan meninggalkan kita? Tidak. Justru melalui kenaikan-Nya, kita diberi harapan baru. Yesus yang Terangkat ke Surga Adalah Raja yang Hidup Yesus bukan Raja yang tinggal di istana besar dan lupa rakyat-Nya. Ia adalah Raja yang dulunya juga menderita, dianiaya, dan disalibkan. Ia tahu apa itu ditolak, disiksa, dan ditinggalkan. Maka saat Ia naik ke sur...

Menanam Ilmu di Kebun Kehidupan

Gambar
  " Refleksi Hidup tentang Belajar di Kebun" Oleh: Yulianus Kebadabi Kadepa  Belajar di kebun adalah pengalaman yang membuka mata dan hati saya tentang arti pembelajaran yang sesungguhnya. Di kebun, saya tidak hanya menanam benih tanaman, tetapi juga menanam nilai-nilai kehidupan yang tidak saya temukan di dalam kelas. Kebun menjadi ruang belajar yang unik, alami, dan penuh makna. Di sana, saya melihat sendiri bagaimana alam bekerja dengan penuh kesabaran dan keteraturan, dan dari sanalah saya mulai memahami bahwa belajar tidak harus selalu berasal dari buku. Pengalaman belajar di kebun juga memberikan kesan yang sangat mendalam bagi saya. Di tempat yang sederhana ini dapat di antara tanah, tanaman, dan sinar matahari langsung saya menemukan bahwa belajar tidak selalu harus dilakukan di dalam kelas yang tertutup. Kebun menghadirkan suasana belajar yang alami, terbuka, dan penuh makna. Di sinilah saya benar-benar memahami bahwa ilmu bisa ditanam, dirawat, dan dipanen, sepe...

KERINDUAN SEORANG TOKOH PEMIKIR PAPUA: PATER DR. NELES KEBADABI TEBAI

Gambar
  Aita Kebadabi Tebai vs kabadabi kadepa  (Dialog Jakarta-Papua dan Papua-Jakarta) Oleh: Yulianus Kebadabi Kadepa  Pater Dr. Neles Kebadabi Tebay adalah sosok yang tidak hanya dikenal sebagai imam Katolik, tetapi juga sebagai intelektual dan pejuang perdamaian dari Tanah Papua. Ia Lahir di Godide, Kamu Utara, Kabupaten Dogiyai, Papua, pada 13 Februari 1964, Tebay memiliki perjalanan hidup yang luar biasa dalam upaya memajukan dialog antara Jakarta dan Papua. Melalui karya-karyanya, beliau berusaha membuka jalan bagi terciptanya perdamaian yang adil dan bermartabat bagi masyarakat Papua. Dialog sebagai Jalan Perdamaian Dalam bukunya yang berjudul Dialog Jakarta–Papua: Sebuah Perspektif Papua (2013), Pater Neles menegaskan bahwa dialog bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah jalan (via) untuk meningkatkan kepercayaan antara rakyat Papua dan pemerintah Indonesia. Tebay menyatakan, "Dialog adalah medium untuk meningkatkan kepercayaan antara rakyat Papua dan pemimpin Pemerint...

Saya Berpikir, Karena Itu Saya Ada

Gambar
"Aku Berpikir Maka Aku Ada"  (Refleksi Pemikiran Filsafat tentang Kesadaran Diri dalam Kehidupan Sehari-hari) Oleh: Yulianus Kebadabi Kadepa  René Descartes, dalam bukanya, Meditations on First Philosophy, menyatakan: " Cogito, ergo sum" atau “Saya berpikir, maka saya ada” (Descartes, 1996: 17). Kalimat ini merupakan tonggak penting dalam sejarah filsafat Barat karena menunjukkan bahwa kesadaran akan berpikir adalah bukti paling mendasar dari eksistensi manusia. Bagi Descartes, ketika segala hal dapat diragukan, satu hal yang pasti adalah bahwa aku yang sedang berpikir ini pasti ada. Dalam kehidupan sehari-hari, pemikiran ini sangat relevan, terutama dalam konteks pengambilan keputusan, perenungan diri, dan evaluasi moral. Ketika seseorang mengalami kebingungan atau tekanan hidup, kemampuan untuk berhenti sejenak dan merefleksikan apa yang ia pikirkan dan rasakan merupakan bentuk dari kesadaran diri. Misalnya, ketika saya sedang marah, saya bisa menyadari emosi ter...

Keringat Orang Tua Menjadi Pondasi Hidup Anak Muda

Gambar
  Hidup untuk kerja dan kerja untuk hidup  Oleh: Yulianus Kebadabi Kadepa  Perjuangan Orang Tua sebagai Pondasi Kehidupan Keringat orang tua adalah simbol pengorbanan dan kerja keras yang tak terlihat oleh banyak anak muda. Dalam kehidupan sehari-hari, terutama di daerah seperti Papua, orang tua menjalani hari-hari penuh perjuangan demi memenuhi kebutuhan keluarga. Mereka bekerja di ladang, bertani, atau melakukan pekerjaan kasar yang melelahkan, seringkali dengan fasilitas yang minim dan kondisi lingkungan yang menantang. Keringat mereka menjadi pondasi bagi anak-anak untuk meraih masa depan yang lebih baik. Makna Keringat Orang Tua bagi Anak Muda Bagi anak muda, keringat orang tua harus menjadi sumber inspirasi dan pengingat akan pentingnya menghargai kerja keras. Keringat itu bukan hanya soal materi, tapi juga wujud cinta dan harapan yang ditanamkan orang tua. Namun, tidak sedikit anak muda yang lupa akan perjuangan tersebut dan mengambil jalan mudah tanpa menghargai a...

Humoniora: Filsafat Kesehatan Manusia Papua

Gambar
  *Yulianus Kebadabi Kadepa Kebanyakan orang tidak kenal dengan kata “humoniora”, mungkin sebagian orang pernah baca atau ketemu sebuah naskah buku atau pengalaman. Kata diatas ini tidak pernah digunakan atau dipakai dalam bahasa sehari-hari dalam kehidupannya. Tetapi “humoniora” memiliki hubungan erat dengan eksekutif kalangan intelektual yang menghidupkan kembali sebagai jati diri bangsa dan manusia. Arti “humoniora” menurut asal-usulnya menjelaskan bahwa dalam konteks bahasa asing banyak istilah yang di pakai. Jika kita melihat dalam bahasa Indonesia, bahasa yang miskin sehingga kata humoniora mengambil dari istilah-istilah ilmiah dari bahasa inggris yang dipakai adalah himanitis , humaniora dan diartikan dalam secara lengkap adalah bahasa Latin, harafiahnya humoniora (bentuk jamak) berarti “hal-hal yang lebih pada manusiawi” dan di lihat dari humanus (adjektive, tunggal) yang artinya “manusiawi”, dengan komparatifnya humanior (tunggal) yang berarti “lebih pada manusiawi”....

Pelan Tapi Pasti di Atas Batu Karang

Gambar
  (Kisah Perjalanan Bersama Martinus Degeuwobou Tenouye) Oleh: Yulianus Kebadabi Kadepa  Hidup ini seperti laut yang luas: tak selalu tenang, tak selalu ramah. Kadang gelombang datang menghantam tanpa aba-aba. Namun di tengah luasnya lautan dan derasnya ombak, kami berdiri kokoh pelan tapi pasti di atas batu karang yang kokoh. Itulah kami, aku dan Martinus Degeuwobou Tenouye. Kata-kata diatas ini bukan sekadar rangkaian kata indah. Ia lahir dari perjalanan panjang, dari perjuangan yang diam tapi dalam, dari keyakinan yang tidak goyah meski diterpa badai. “Pelan tapi pasti di atas batu karang lautan” adalah simbol dari kesabaran kami, keteguhan kami, dan keyakinan bahwa fondasi yang kuat tidak dibentuk dalam semalam dan seharusnya. Batu karang itu adalah komitmen kami untuk keras, kuat, kadang tajam, tapi selalu bisa diandalkan untuk berpijak. Di atasnya kami berdiri, meski angin mencoba menggoyahkan, meski ombak datang berkali-kali. Kami tidak lari, tidak mencari tempat yan...

Kekejaman di Balik Operasi Militer Indonesia, Warga Sipil Dibunuh Seperti Binatang

Gambar
  Oleh: Yulianus Kebadabi Kadepa  Hari ini, Jumat 23 Mei 2025, dunia kembali diingatkan pada kenyataan pahit yang dialami oleh rakyat Papua, khususnya di Kabupaten Intan Jaya. Tim evakuasi mengangkat satu jenazah dari Ndugasiga, Distrik Sugapa. Mayat itu telah membusuk, dibiarkan tergeletak selama beberapa hari. Bukan karena warga tak peduli, tapi karena ketakutan akan ancaman bom yang dipasang oleh aparat keamanan di sekitar lokasi korban. Menurut kesaksian warga setempat, korban adalah warga sipil biasa. Ia dibunuh tanpa alasan jelas. Seperti banyak peristiwa lain sebelumnya, tidak ada proses hukum, tidak ada penyelidikan, hanya tembakan dan kematian. Setelah pembunuhan, aparat TNI-Polri diduga sengaja menanam bom di sekitar tubuh korban. Tujuannya sangat mengerikan: agar keluarga yang mencoba mengambil jenazah terkena ledakan dan ikut terbunuh. Ini bukan hanya pelanggaran HAM berat ini adalah bentuk teror psikologis yang sistematis terhadap masyarakat adat Papua. Konteks Ke...

Maria sebagai Putri Cendrawasih Santa Papua

Gambar
Oleh: Martinus Tenouye Siapa itu Maria Siapa sesungguhnya Maria? Kita menggelarnya dengan banyak nama indah: “Pembawa Terang, Bunda Kebijaksanaan, Bunda Allah, Santa Ratu, Santa Maria, Perawan Terberkati dan Bunda Kudus. Berjalannya waktu orang-orang sudah mengenal siapa sesungguhnya Maria. Seketika itu banyak cara yang digunakan oleh banyak orang untuk mengenal Maria (Curran, 2013: 1). Dalam inkulturasi atau budaya kita bisa mengenal siapa dan apa terhadap objek-objek tertentu. Namun dalam konteks Papua menurut budaya kita, penyebutan nama atau gelar Maria itu, kita bisa menyebutnya dengan “Mama Cenderawasih, Putri Papua yang Mulia, Putri Papua yang terberkati, Mama Fajar, Mama Papua. Mama Cenderawasih Papua itu sesungguh ia menjadi pendoa, memelihara dan juga penjaga tanah Papua sebagai tanah yang terberkati. Dalam Ajaran Gereja iman Katolik maupun Kitab Suci, kita bisa belajar kisah dan pengalamannya sebagai Bunda Allah yang terberkati. Maria adalah seorang gadis Yahudi miskin yang...

Kata-kata Motivasi dari Ewanaibi: Tampil Seperti Angin Lewat

Gambar
  Dalam dunia berpikir  Sebuah Refleksi dan Strategi Hidup Dalam Sunyi Oleh Yulianus Kebadabi Kadepa  Di era media sosial, eksistensi menjadi candu. Kita diajarkan untuk tampil, bicara, unjuk diri, dan berlomba mendapat validasi. Tetapi Ewanaibi menasehati saya  dari arah berlawanan. Ia bukan simbol kepengecutan, tapi strategi bertahan. Ia menyuarakan satu hal yang mulai hilang di zaman ini, dengan berkata Kebadabi ingat!“Tampil seperti angin lewat. Tra terlihat, tapi dirasakan.” Bukan tidak ada, tapi tidak mencolok. Bukan tidak bergerak, tapi tidak bising. Itulah seni bertahan dalam dunia penuh mata, penuh jebakan, dan penuh orang-orang yang diam-diam ingin menjatuhkan. Sombong Itu Umpan Maut “Jagan sombong,” kabadabi kata Ewanaibi. Sombong bukan cuma soal kata-kata tinggi. Ia bisa muncul lewat sikap, gaya hidup, pamer pencapaian, atau terlalu cepat tampil. Dalam hidup, terlalu cepat merasa "sudah jadi" adalah awal kehancuran. Sombong mengundang pemburu. Sombong ada...

Jika Tuhan Ada, Mengapa Papua Terluka? Menemukan Harapan melalui Filsafat Proses Whitehead

Gambar
  Jika ada Tuhan mengapa ada kejahatan  Oleh: Yulianus Kebadabi Kadepa  Papua dan Luka yang Mendalam Di tanah Papua adalah surga kecil di bumi seperti di surga yang penuh dengan kaya akan keanekaragaman budaya dan alam, menghadapi penderitaan yang mendalam dalam banyak aspek kehidupan. Konflik yang berkepanjangan, ketidakadilan sosial, kemiskinan, dan marginalisasi sosial, budaya, serta politik telah menjadikan tanah ini tempat yang terluka. Rakyat Papua sering kali merasa terpinggirkan oleh negara, mengingat ketimpangan yang sangat mencolok antara wilayah Papua dan wilayah lainnya di Indonesia, baik dalam hal ekonomi, pembangunan infrastruktur, pendidikan, maupun kesehatan. Disini pertanyaan yang muncul secara mendalam dari situasi ini adalah, dengan judul buku Jika ada Tuhan Mengapa Ada Kejahatan ( Bri, 2008: 13-92) dalam buku ini penulis akan merangkul dengan pertanyaan-pertanyaan konteks di Papua"Jika Tuhan ada, mengapa Papua terlukai?" Apakah Tuhan tidak peduli deng...

Maut, Penderitaan, dan Jalan Menuju Hidup Baik: Refleksi Eksistensial atas Penemuan Diri

Gambar
  Buku Filsafat Maut  Oleh: Yulianus Kebadabi Kadepa  Kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari penderitaan dan kesementaraan. Dalam filsafat, terutama dalam aliran eksistensialisme, penderitaan dan kematian (maut) tidak dilihat sebagai akhir semata, tetapi sebagai kunci untuk memahami makna hidup yang sejati. Gagasan bahwa “hidup baik hanya melalui penderitaan kita dapat menemukan diri kita sendiri” adalah pandangan mendalam yang mengajak kita untuk merenungkan ulang bagaimana penderitaan justru mengantar kita pada keotentikan dan penemuan jati diri. Filsafat Maut: Kesadaran akan Keterbatasan Dalam buku Filsafat Maut: Empat Renungan untuk Hidup Baik , 136 halaman, Buku bersampul tipis, Diterbitkan 27 Maret 2024 para penulis mengajak pembaca untuk merenungkan kematian dari berbagai perspektif filosofis. S.P. Lili Tjahjadi menulis peristiwa kematian dari perspektif filsafat samurai Jepang, Fitzerald K. Sitorus membahas kematian dari kacamata filsafat Hegel, Budi Hardima...