Puisi: Tangis Mama di Tanah yang Dirampas

Oleh:Yulianus Kebadabi Kadepa 


Mama duduk di tanah yang tak lagi ramah,

Di mana dulunya mama menanam, ubu, sayur-sayuran, menari, dan bernyanyi

Langit masih biru, tapi seolah tak mendengar,

Betapa hancur isi bumi yang mama cintai


“Dulu burung bernyanyi dari pohon ke pohon,”

Katanya pelan, “sekarang suara yang datang…

 Cuma mesin dan debu tambang.”

 

Langit yang dulu jadi sahabat,

Kini memandangnya dengan dingin,

Seperti ikut diam

Saat tanahnya dicuri

Atas nama pembangunan


Pemerintah Indonesia datang membawa kertas dan peta,

Bukan kapak batu, bukan tifa suci

Tak ada salam adat, tak ada minta ijin

Hanya tanda tangan dan janji-janji kosong


         “Tanah ini kami beli,” kata mereka.

Tapi siapa yang menjual?

Siapa yang izinkan pohon sagu ditebang?

 Siapa yang berani serahkan leluhur kepada mesin?


Mama hanya memeluk tanah dengan menangis,

Tanah yang tak bicara,

Tapi mengerti betul siapa pemilik sejatinya


Anaknya pulang dari kota,

Membawa pertanyaan lebih tajam dari parang:


“Ma, kenapa kita tinggal di tanah ini,

Tapi orang lain yang jadi tuan?”


Mama menatap matanya

Dan tak tahu harus berkata apa

Sebab luka yang mama simpan

Tak bisa dijelaskan dengan logika,

Hanya bisa dirasakan

Di dada, di jiwa, di tanah basah


Dulu ada pohon beringin besar

Tempat anak-anak bermain dan mendengar cerita

Kini hanya sisa tunggul,

Dan papan larangan bertuliskan:


“Dilarang masuk  ke kawasan milik perusahaan.”


Air sungai menjadi keruh,

Ikan menghilang,

Padi tak lagi tumbuh.

Kuskus burung-burung mulai hilang 


“Apa salah kami?”

Tanya Mama pada malam

Tapi malam hanya membungkamnya

Dengan sepi yang panjang


Mama bangkit di subuh hari,

Membakar daun kayu putih,

Membisikkan doa dalam bahasa nenek moyang

Yang tak dipahami pejabat atau investor


Ia bicara pada roh-roh

Yang tinggal di batu,

Di angin,

Di tetes embun pagi

 

  “Ampuni kami yang tak bisa jaga tanah ini,”

Katanya,

“kami tak sanggup melawan mereka yang datang dengan kekuasaan.”


Tangis Mama berubah jadi nyanyian,

Bukan untuk menghibur,

Tapi untuk mengingatkan.


Lagu duka,

Lagu tanah yang terluka,

Lagu adat yang digilas oleh aspal dan rencana besar


Ia menyanyi pelan di dapur,

Di ladang kecil yang tersisa,

Dan di lubuk hatinya yang sudah retak.


Tapi Mama tahu,

Air mata bukan tanda kalah.

Ia menanam satu tunas ubi 

Di tanah kecil miliknya yang tersisa,

Dan berkata:


 “Selama kita masih hidup,

Selama anak-anak masih percaya adat,

Tanah ini akan tahu jalan pulangnya.”


Tangisnya masih ada,

Tapi kini ia menyimpan bara:

Bara untuk bertahan,

Bara untuk bangkit,

Dan menyulam harapan

Dari luka yang tak kunjung kering.



Wisma Tiga Raja Timika 











 



  



Komentar

  1. Sangat puitis...Semangat terus untuk menyuarakan penderitaan orang Papua melaui karya2 tersohor seperti ini. Semangat terus Kadepa.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pastor Yance Wadogouby Yogi Memiliki Imam, Nabi, dan Raja di Jantung Papua yang Berdarah di Intan Jaya

Rencana Tuhan Pasti Indah pada Waktunya

Pater Yance Yogi Memiliki Keberanian