Pastor Yance Wadogouby Yogi Memiliki Imam, Nabi, dan Raja di Jantung Papua yang Berdarah di Intan Jaya
Di wilayah pegunungan Papua yang terus-menerus dilanda konflik bersenjata, ketidakamanan, dan trauma sosial yang khususnya di Kabupaten Intan Jaya dan sekitar Puncak Jaya Papua hadir seorang imam Katolik yang menjadi tanda harapan dan pelita iman: Pastor Yance Wadogouby Yogi, Pr seorang imam Keuskupan Timika yang menjabat sebagai Dekan wilayah Deket Moni Puncak Jaya.
Pastor Yance tidak hanya sekadar “bertugas” di wilayah berisiko ini. Ia tinggal bersama umat, menderita bersama mereka, dan tetap menjalankan tugas-tugas imamatnya sebagai imam, nabi, dan raja, tiga dimensi hakiki dari pelayanan pastoral menurut ajaran Gereja Katolik.
Gereja Katolik mengajarkan bahwa setiap imam mengambil bagian dalam tiga fungsi Kristus yang dikenal sebagai “munus triplex”: menguduskan (sanctificandi), mengajar (docendi), dan memimpin (regendi).
Yang pertama, Imam (Sanctificandi) yang adalah Menguduskan Umat. Pastor Yance tetap setia merayakan Ekaristi, membagikan sakramen, dan mengunjungi umat secara pastoral meski berada dalam situasi konflik. Hal seperti itu dijelaskan secara detail dalam KGK ketekesmus Gereja Katolik bawah:
“Para imam, sebagai rekan kerja uskup, terutama bertugas menguduskan umat dengan pelayanan sakramen.” Catechism of the Catholic Church (KGK), no. 1564. “Dengan rahmat tahbisan, mereka bertindak dalam pribadi Kristus Kepala.” (lihat KGK, no. 1548)
Yang kedua, Nabi (Docendi) yang adalah Mewartakan Sabda dan Kebenaran. Sebagai nabi, Pastor Yance menjadi suara kebenaran yang berseru di padang gurun Papua. Ia menyuarakan keadilan, perdamaian, dan penghiburan dalam situasi yang penuh ketegangan. Dalam dokumen gereja katolik Juga menjelaskan tentang:
“Tugas utama para imam adalah mewartakan Injil kepada semua orang.” Presbyterorum Ordinis (PO), no. 4. “Sabda Tuhan harus menjangkau realitas manusia dan memberi harapan.” Evangelii Nuntiandi (EN), no. 21
Yang ketiga, Raja (Regendi) yang adalah Memimpin dengan Kasih. Pastor Yance bukan hanya memimpin administratif sebagai dekan, tetapi menjadi gembala yang menggembalakan dengan hati, bukan dari atas, melainkan dari tengah-tengah umatnya.
“Seperti Kristus, para imam tidak memerintah sebagai penguasa, tetapi sebagai pelayan.” (lihat KGK, no. 1551)
“Pimpinlah kawanan Allah… bukan dengan paksa, tetapi sukarela, sebagai teladan kawanan.” (lihat 1 Petrus 5:2–3)
Inkulturasi dan nama adat: Wadogouby yang diberikan masyarakat Paroki Kristus Jaya, Komopa-Agadide, adalah bentuk paling dalam dari penerimaan budaya. Dalam tradisi Papua, nama adat bukan hanya gelar simbolis, tetapi pengakuan bahwa seseorang telah menjadi bagian dari komunitas “anak tanah atau anak budaya.”
Gereja Katolik melalui ajaran inkulturasi mendukung penghargaan terhadap budaya setempat:
“Injil tidak menghancurkan kebudayaan, tetapi menyucikan dan mengangkatnya.” Evangelii Nuntiandi (EN), no. 20
“Inkulturasi adalah proses di mana Sabda Allah diungkapkan dan dihayati dalam budaya lokal, tanpa kehilangan kebenaran Injil.” Redemptoris Missio (RM), no. 52
Dengan menerima nama Wadogouby, Pastor Yance tidak hanya mengabarkan Injil, tetapi menginkarnasikannya dalam budaya Papua. Ia hadir bukan sebagai misionaris asing, tetapi sebagai saudara, sahabat, dan pemimpin rohani umatnya di daerah konflik kabupaten Intan Jaya.
Pastor Yance tinggal dan berkarya di daerah konflik, tempat di mana banyak orang memilih pergi. Tetapi, ia memilih tinggal dan menderita bersama umat, sejalan dengan semangat ajaran sosial Gereja:
“Preferensi bagi kaum miskin adalah tanda Injil yang otentik.” Compendium of the Social Doctrine of the Church (CSDC), no. 182
“Apa yang kamu lakukan kepada yang paling hina ini, kamu lakukan kepada-Ku.” Matius 25:40
“Gereja merasakan suka dan duka, harapan dan kecemasan umat manusia—terutama mereka yang miskin dan menderita.” Gaudium et Spes (GS), no. 1
Pastor Yance, dengan diam dan setia, menghadirkan wajah Kristus yang menderita namun penuh kasih, menyalurkan harapan di tengah masyarakat yang terluka.
Implikasi Gerejawi dan teladan pastoral. Apa yang dilakukan Pastor Yance di Keuskupan Timika, khususnya sebagai dekan wilayah Moni puncak Jaya, adalah pelayanan yang bersifat kenabian dan profetis yang melampaui rutinitas pastoral. Ia menjadi saksi nyata Gereja yang hidup dan berakar di tanah yang menderita, Gereja yang tidak hanya hadir dalam liturgi, tetapi juga dalam penderitaan sosial, politik, dan budaya.
Pelayanannya adalah panggilan bagi seluruh Gereja untuk terus menghidupi semangat inkulturasi, keberanian pastoral, dan keberpihakan terhadap yang kecil, tersingkir pengusian karena konflik bersenjata antar TNI-porli dan TPM-OPM.
Dengan demikian, Pastor Yance Wadogouby Yogi Memiliki tetap di tengah umatnya sendri adalah gambaran dari Kristus yang hadir dalam sosok imam yang rendah hati namun tegas, berani namun penuh belas kasih. Di tengah wilayah konflik yang penuh luka, ia menjadi gembala, nabi, dan raja yang tidak meninggalkan domba-dombanya, melainkan tetap setia menggembalakan mereka dengan hati yang sungguh-sungguh ditengah konflik bersenjata di kebupaten intan jaya Dekenat Moni Puncak Jaya keuskupan Timika.
menataku HORMAT
BalasHapus