Kekejaman di Balik Operasi Militer Indonesia, Warga Sipil Dibunuh Seperti Binatang
Oleh: Yulianus Kebadabi Kadepa
Hari ini, Jumat 23 Mei 2025, dunia kembali diingatkan pada kenyataan pahit yang dialami oleh rakyat Papua, khususnya di Kabupaten Intan Jaya. Tim evakuasi mengangkat satu jenazah dari Ndugasiga, Distrik Sugapa. Mayat itu telah membusuk, dibiarkan tergeletak selama beberapa hari. Bukan karena warga tak peduli, tapi karena ketakutan akan ancaman bom yang dipasang oleh aparat keamanan di sekitar lokasi korban.
Menurut kesaksian warga setempat, korban adalah warga sipil biasa. Ia dibunuh tanpa alasan jelas. Seperti banyak peristiwa lain sebelumnya, tidak ada proses hukum, tidak ada penyelidikan, hanya tembakan dan kematian. Setelah pembunuhan, aparat TNI-Polri diduga sengaja menanam bom di sekitar tubuh korban. Tujuannya sangat mengerikan: agar keluarga yang mencoba mengambil jenazah terkena ledakan dan ikut terbunuh. Ini bukan hanya pelanggaran HAM berat ini adalah bentuk teror psikologis yang sistematis terhadap masyarakat adat Papua.
Konteks Kekerasan yang Berulang
Peristiwa ini bukan insiden tunggal. Kekerasan terhadap warga sipil di Intan Jaya dan wilayah lain di Tanah Papua telah menjadi pola yang berulang. Di balik setiap operasi militer TNI-polri yang diklaim demi "penegakan keamanan negara", terdapat jejak darah rakyat biasa. Warga yang tak bersenjata, petani, anak-anak, dan perempuan biasa semua rentan menjadi korban.
Mengapa kekerasan ini terus terjadi? Salah satu jawabannya ada pada kepentingan negara terhadap kekayaan alam Papua, terutama tambang emas Blok Wabu. Lokasi tambang emas ini sangat dekat dengan wilayah-wilayah konflik. Rakyat Papua yang mempertanyakan eksploitasi tersebut sering dicap sebagai separatis, dan dari situ, dibenarkan untuk diburu, disiksa, bahkan dibunuh masyarakat biasa bukannya TPM-OPM
Hidup yang Tidak Lagi Aman
Bagi masyarakat Papua, hidup hari ini adalah hidup dalam ketakutan. Bukan hanya takut akan kelompok bersenjata, tetapi juga terhadap aparat negara yang seharusnya melindungi. Anak-anak tumbuh dengan trauma. Ibu-ibu menangisi anak yang tak pulang. Para kepala suku kehilangan wibawa karena rakyatnya dibunuh di depan mata. Ini adalah kehancuran tatanan sosial dan budaya yang sangat dalam.
Warga sipil dibunuh seperti binatang. Bahkan hewan pun, di banyak tempat, memiliki perlindungan hukum. Namun di Papua, manusia Papua tak mendapatkan perlindungan yang sama. Bahkan jenazah pun masih dianggap ancaman. Ini adalah tragedi kemanusiaan yang terus diabaikan oleh pemerintah pusat dan dunia internasional.
Saatnya Dunia Membuka Mata
Berapa banyak lagi mayat yang harus diangkat dari hutan? Berapa banyak anak yang harus kehilangan orang tuanya? Dan berapa banyak bom yang harus meledak di dekat jenazah sebelum dunia sadar bahwa ada genosida yang sedang terjadi secara perlahan di Papua?
Ini bukan soal politik semata. Ini soal kemanusiaan. Soal hak hidup. Soal martabat manusia.
Dengan demikian, masyarakat Intan Jaya, menolak dibungkam. Mereka menolak dianggap binatang. Mereka menuntut keadilan, perlindungan, dan pengakuan sebagai manusia seutuhnya dan yang punya hak untuk hidup damai di tanah leluhur mereka.
Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) “Fajar Timur” Jayapura-Papua.
Komentar
Posting Komentar