Pemulihan Kemanusiaan dan Perlawanan terhadap Penindasan: Relevansi Pemikiran Mgr. Oscar Romero dalam Konteks Pastoral Mgr. Bernardus Bofitwos Baru
Dalam buku yang berjudul; Teologi Gustavo Gutierrez Refleksi dari Praksis Kaum Miskin, dibagian pengantar (Chen, 2002: 9) mengatakan bahwa “Tidak akan ada pemulihan kemanusiaan sejati jika penindasan terhadap kaum miskin tidak diatasi.” -Mgr. Oscar Arnulfo Romero
Pernyataan ini datang dari suara kenabian yang bersinar di tengah kegelapan ketidakadilan sosial di El Salvador pada tahun 1970-an. Mgr. Oscar Arnulfo Romero, Uskup Agung San Salvador, bukan hanya seorang pemimpin Gereja, tetapi seorang martir yang menyuarakan kebenaran dan keadilan di tengah masyarakat yang tertindas. Ia menolak untuk diam ketika rakyat miskin dan petani dibungkam, disiksa, dan dibunuh dalam sistem yang menindas. Baginya, iman Kristen sejati harus membela martabat manusia dan memperjuangkan keadilan sosial.
Kini, lebih dari empat dekade setelah wafatnya Romero, semangat kenabiannya tetap hidup karena terutama di wilayah-wilayah di dunia yang mengalami ketidakadilan yang serupa. Salah satunya adalah Tanah Papua, khususnya di wilayah Keuskupan Timika, Indonesia.
Papua: Tanah Kaya yang Merintih
Papua dikenal sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam, terutama emas, tembaga, dan kayu. Namun, kekayaan itu tidak serta merta menjadi berkat bagi masyarakat adat yang tinggal di wilayah tersebut. Sebaliknya, mereka sering menjadi korban dari eksploitasi sumber daya oleh perusahaan besar, marginalisasi oleh negara, serta kekerasan struktural dan kultural yang terus berlangsung.
Masyarakat Papua, khususnya di pedalaman dan wilayah sekitar tambang di Timika, menghadapi persoalan serius seperti perampasan tanah adat, kemiskinan, kerusakan lingkungan, rendahnya akses pendidikan dan kesehatan, serta kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan. Dalam konteks seperti inilah, suara Gereja menjadi penting sebagai perpanjangan suara kenabian.
Mgr. Bernardus Bofitwos Baru: Gembala dari Tanah Papua
Ditahbiskan sebagai Uskup Keuskupan Timika pada tahun 2024, Mgr. Bernardus Bofitwos Baru, OSA, menjadi sosok yang membawa harapan baru. Ia bukan hanya seorang imam, tetapi juga putra asli Papua, yang memahami penderitaan, kerinduan, dan pergulatan rakyatnya dari dalam. Kehadirannya sebagai uskup merupakan momen bersejarah: untuk pertama kalinya, Keuskupan Timika dipimpin oleh seorang gembala dari tanah itu sendiri.
Dalam semangat Mgr. Oscar Romero, Mgr. Bernardus dipanggil untuk menjadi suara kenabian bagi umatnya yang tertindas. Romero pernah berkata bahwa “Gereja harus menjadi suara bagi mereka yang tidak memiliki suara.” Di Papua, suara itu harus menyuarakan keadilan atas tanah adat yang dirampas, menyuarakan hak hidup masyarakat yang termarjinalkan, serta menjadi pembela hak asasi manusia di tengah tekanan dan kekerasan.
Sebagaimana Romero, yang sering dituduh berpihak kepada kaum miskin (dan ia tidak menyangkalnya), Mgr. Bernardus pun diharapkan memihak kepada rakyat kecil dari bukan dalam arti politis, tetapi dalam semangat Injil yang berpihak kepada yang lemah, tertindas, dan miskin.
Romero dan Bernardus: Dua Uskup, Satu Semangat Kenabian
Romero memahami bahwa tanpa keadilan, tidak akan ada damai. Ia mewartakan bahwa perdamaian sejati hanya bisa tercipta jika struktur-struktur sosial yang menindas diubah. Ia tahu bahwa tugas uskup bukan sekadar mengurusi liturgi dan sakramen, melainkan memimpin umat untuk hidup dalam kebenaran dan keadilan. Ia mengutuk kekerasan, baik yang dilakukan oleh gerilyawan maupun oleh aparat negara, tetapi ia tidak tinggal diam ketika ketidakadilan merajalela.
Demikian pula, tantangan yang dihadapi Mgr. Bernardus di Timika bukan hanya pastoral biasa. Ia berada dalam konteks konflik agraria, eksploitasi ekonomi, dan ketimpangan sosial yang serius. Dalam situasi seperti itu, suara Gereja harus jelas: membela martabat manusia, menolak kekerasan, dan memperjuangkan kehidupan yang utuh bagi umat.
Jika Romero menjadi “suara kenabian” bagi El Salvador, maka Bernardus diharapkan menjadi suara kenabian bagi Papua. Ia memiliki potensi besar untuk menjadi jembatan antara Gereja dan rakyat, antara nilai-nilai Injili dan realitas sosial, serta antara harapan umat dan kenyataan yang keras.
Menjadi Gereja yang Hidup dan Relevan
Paus Fransiskus dalam berbagai kesempatan menyerukan agar Gereja menjadi “Gereja yang miskin untuk orang miskin.” Seruan ini bergema kuat di tanah Papua. Gereja di Papua tidak boleh netral dalam situasi ketidakadilan. Netralitas di tengah penindasan adalah keberpihakan kepada penindas.
Dengan menghidupi semangat Romero, Mgr. Bernardus dapat menjadikan Gereja di Keuskupan Timika sebagai komunitas yang peduli, aktif, dan transformatif. Gereja harus hadir dalam perjuangan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang layak, fasilitas kesehatan, pengakuan hak atas tanah, dan pengakuan martabat budaya mereka.
Dengan demikian, Pesan Mgr. Oscar Romero terus menggaung: “Kemanusiaan tidak akan pernah pulih jika kaum miskin terus ditindas.” Pesan ini sangat relevan bagi Papua, di mana luka kolonialisme dan eksploitasi masih terasa. Dalam konteks ini, tugas Mgr. Bernardus bukan hanya menjadi pemimpin rohani, tetapi juga gembala kenabian yang berani berdiri bersama umatnya.
Gereja yang hidup adalah Gereja yang berani. Gereja yang relevan adalah Gereja yang berpihak. Dan Gereja yang setia adalah Gereja yang mengikuti teladan Kristus dan yang datang untuk membebaskan, bukan menindas; untuk menyembuhkan, bukan membiarkan luka terbuka.
Semoga semangat Romero terus menyala dalam pelayanan Mgr. Bernardus dan dalam perjuangan rakyat Papua untuk martabat, keadilan, dan kemanusiaan. (*)
)* Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat-Teologi Fajar Timur, Abepura-Papua.
Rujukan Buku
Chen Martin .2002. Teologi Gustavo Gutierrez Refleksi dari Praksis Kaum Miskin, Jogyakarta: Kanisius
Komentar
Posting Komentar