Menjadi Lebih Kuat: Spiritualitas Kristiani dan Misi Ilahi Penyelamatan Sosial-Ekologis

 



Refleksi atas Krisis Papua dan Relevansi Pemikiran Mgr. Oscar Romero dalam Konteks Pastoral Mgr. Bernardus Bofitwos Baru, O.S.A.


Oleh: Yulianus Kebadabi kadepa 


“Tidak akan ada pemulihan kemanusiaan sejati jika penindasan terhadap kaum miskin tidak diatasi.” Mgr. Oscar Arnulfo Romero (dalam Chen, 2002:9)

Kutipan dari Mgr. Oscar Romero tersebut membuka cakrawala spiritual bahwa pemulihan sejati dalam kehidupan manusia tidak mungkin terjadi tanpa keadilan bagi mereka yang tertindas. Dalam konteks Papua masa kini, di mana ketidakadilan dan kekerasan struktural hadir dalam wajah-wajah politik, ekonomi, militerisme, dan rasisme sistemik, pesan ini semakin relevan dan mendesak untuk direnungkan.

Tulisan ini adalah refleksi atas wawancara beberapa waktu yang lalu oleh Mgr. Bernardus Bofitwos Baru, O.S.A., Uskup Timika, yang dengan berani dan jujur mengungkapkan kenyataan pahit yang dialami masyarakat Papua. Suaranya menjadi saksi iman yang hidup dan profetis dalam menyuarakan penderitaan umat serta menghubungkannya dengan spiritualitas Kristiani yang membebaskan.

Krisis Papua: Luka Sosial-Ekologis yang Terus Menganga

Mgr. Bernardus menggambarkan kompleksitas krisis di Papua melalui tiga akar utama: Yang pertama, konflik politik yang berakar dari sejarah PEPERA (1969);
Yang kedua, eksploitasi ekonomi oleh korporasi besar terhadap tanah dan sumber daya alam masyarakat adat; Yang ketiga, rasisme sistemik yang dilembagakan dalam kebijakan negara.

Konflik politik dan pendekatan keamanan yang dominan menciptakan spiral kekerasan yang tiada henti, yang ditandai dengan keberadaan pengungsi internal, penangkapan, kekerasan, dan trauma psikologis massal. Bersamaan dengan itu, invasi korporasi terhadap tanah ulayat dan hutan adat memicu krisis ekologis akut yang menghapus ruang hidup masyarakat, serta merusak hubungan spiritual masyarakat Papua dengan tanah leluhur mereka.

Kondisi ini menjadikan Papua tidak hanya sebagai ruang penderitaan, tetapi juga ladang misi sosial-ekologis yang mendesak.

Spiritualitas Inkarnasi dan Solidaritas Iman

Sebagaimana ditekankan oleh Mgr. Bernardus, spiritualitas Kristiani bukanlah jalan pelarian dari kenyataan, melainkan panggilan untuk berinkarnasi dalam realitas penderitaan umat, terlebih yang tertindas. Spiritualitas semacam ini meneladani Kristus yang menjadi manusia, hidup bersama kaum miskin, dan menderita demi pembebasan mereka.

Pemahaman ini sejalan dengan teologi pembebasan yang digagas oleh Gustavo Gutierrez, dan dihidupi secara konkret oleh sosok seperti Mgr. Oscar Romero. Iman, dalam konteks ini, menjadi kekuatan yang menyatu dengan perjuangan sosial demi keadilan dan martabat manusia. Gereja dipanggil untuk menjadi suara kenabian, menghadirkan Tuhan di tengah jeritan rakyat dan menolak untuk berkompromi dengan kekuasaan yang menindas.

“Akulah Pintu”: Teologi Relasi dan Keterbukaan

Motto tahbisan Mgr. Bernardus adalah “Akulah Pintu” itu mencerminkan spiritualitas keterbukaan, penerimaan, dan keberpihakan. Dalam konteks Papua, pintu itu berarti: membuka ruang dialog antara negara dan rakyat Papua, membuka telinga dan hati untuk mendengar jeritan pengungsi dan korban kekerasan, membuka komitmen pastoral untuk hadir dan berjalan bersama mereka yang tertindas, dan membuka gerak iman menuju transformasi sosial.

Pintu bukanlah simbol pasif, melainkan gerakan aktif untuk menjadi jalan keselamatan, tempat perjumpaan, dan ruang pembebasan.

Teologi Ekologis dan Kehadiran Allah dalam Alam

Dalam wawancara, Uskup Bernardus menegaskan bahwa tanah, hutan, sungai, dan gunung bukan hanya sumber ekonomi, tetapi merupakan bagian dari identitas spiritual dan budaya orang Papua. Menghancurkan alam berarti menghancurkan jati diri dan tempat di mana Allah menyatakan kehadiran-Nya.

Ini selaras dengan ajaran Laudato Si’ (Paus Fransiskus, 2015), yang menekankan bahwa krisis lingkungan adalah krisis spiritual dan moral. Kerusakan ekologis bukan semata-mata isu teknis atau ilmiah, melainkan persoalan iman. Jika manusia tidak mampu merawat bumi sebagai rumah bersama, maka iman tidak mewujud dalam kasih nyata terhadap ciptaan dan sesama.

Konsep mysterium tremendum et fascinans dari Rudolf Otto juga memperkaya pemahaman ini: alam adalah manifestasi ilahi yang menghadirkan kekaguman dan rasa gentar. Maka penghancuran alam bukan hanya kejahatan ekologis, tetapi juga penistaan terhadap yang kudus.

Dengan demikian, Papua memanggil gereja, dan seluruh umat beriman dan untuk lebih dari sekadar doa dan belas kasihan. Papua membutuhkan solidaritas profetis. Seperti Mgr. Oscar Romero, Uskup Bernardus mengajak kita melihat bahwa iman sejati adalah iman yang berpihak, yang berani berdiri di sisi mereka yang ditindas, dan yang menghayati spiritualitas Kristiani sebagai jalan perjuangan pembebasan.

Krisis Papua adalah luka bangsa yang belum sembuh. Tetapi melalui spiritualitas yang membumi, teologi yang membebaskan, dan gereja yang membuka pintu-pintunya, harapan masih dapat menyala.

Referensi

Chen, J. (2002). Teologi Gustavo Gutierrez: Refleksi dari Praksis Kaum Miskin. Jakarta: Penerbit Obor. Paus Fransiskus. (2015). Laudato Si’: On Care for Our Common Home. Otto, Rudolf. (1923). The Idea of the Holy.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pastor Yance Wadogouby Yogi Memiliki Imam, Nabi, dan Raja di Jantung Papua yang Berdarah di Intan Jaya

Rencana Tuhan Pasti Indah pada Waktunya

Pater Yance Yogi Memiliki Keberanian