Menanam Daun Ubi Harapan dalam GERTAK: Gerakan Tungku Api Keuskupan Timika dan Relevansinya dalam Kehidupan Sehari-hari Masyarakat Papua
(Refleksi atas Warisan Pastoral Almarhum Uskup John Philip Saklil)
Oleh: Yulianus Kebadabi kadepa
Tanah Papua adalah tanah yang kaya, bukan hanya karena kekayaan alamnya, tetapi juga karena nilai-nilai budaya dan spiritual yang telah hidup ratusan tahun dalam masyarakatnya. Dalam konteks Papua, daun ubi bukan hanya sekadar tanaman pangan, melainkan simbol kehidupan, harapan, dan kesinambungan antar generasi. Almarhum Uskup John Philip Saklil, sebagai gembala yang sangat mencintai tanah dan umat Papua, menangkap makna ini secara mendalam dan melahirkan sebuah gerakan pastoral yang membumi dan kontekstual: GERTAK, Gerakan Tungku Api Keuskupan Timika.
Melalui GERTAK, Uskup Saklil mengajak umat untuk kembali menyalakan tungku api keluarga, menanam daun ubi sebagai simbol kedaulatan dan harapan hidup, serta menjadikan nilai-nilai budaya sebagai bagian dari pewartaan Injil. Refleksi ini merupakan refleksi atas warisan pastoral uskup, dan bagaimana gerakan sederhana ini tetap relevan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Papua hari ini.
Makna Simbolik Menanam Daun Ubi
Dalam banyak budaya di Papua, daun ubi bukan hanya bagian dari menu harian. Ia adalah lambang kehidupan yang terus tumbuh meski dalam kesederhanaan. Daun ubi bisa ditanam hampir di mana saja, tumbuh cepat, dan dapat dipanen berkali-kali. Dalam konteks GERTAK, menanam daun ubi menjadi lambang spiritualitas orang kecil yang bertahan, yang tidak menyerah, dan yang percaya bahwa hidup dari tanah sendiri adalah berkat Allah yang nyata.
Bagi almarhum Uskup Saklil, gerakan menanam ini bukan sekadar aksi pertanian. Ini adalah simbol keberpihakan kepada rakyat kecil, kepada tanah, dan kepada cara hidup yang tidak tercerabut dari akar budaya Papua. Ia memaknai menanam daun ubi sebagai menanam harapan, di tengah krisis pangan, kemiskinan struktural, dan tekanan modernisasi yang seringkali tidak berpihak pada rakyat.
GERTAK: Gerakan Tungku Api yang Membumi
GERTAK adalah bentuk konkret inkulturasi iman Katolik di Papua. Melalui simbol “tungku api”, Uskup Saklil menyentuh pusat kehidupan masyarakat Papua, yakni keluarga. Tungku api adalah tempat berkumpul, memasak, berdiskusi, dan mendidik. Ia bukan hanya tempat memasak, tapi juga tempat mentransmisikan nilai-nilai, menjaga persaudaraan, dan membangun solidaritas.
Dalam banyak homilinya, Uskup Saklil mengajak umat untuk “menyalakan kembali tungku api”, secara harfiah dan simbolis. Menyalakan kembali kehidupan keluarga, membangun kembali hubungan yang hangat antaranggota keluarga, dan memperkuat semangat gotong royong serta ketahanan pangan dari dalam rumah tangga itu sendiri. Dengan demikian, GERTAK bukan hanya gerakan spiritual, tetapi juga sosial, budaya, dan ekonomis.
Relevansi GERTAK dalam Kehidupan Sehari-hari Masyarakat Papua
Pertama, Ketahanan Pangan dan Ekonomi Mandiri: Di tengah krisis global, inflasi, dan ketergantungan pada bahan makanan dari luar Papua, menanam daun ubi menjadi bentuk nyata ketahanan pangan berbasis lokal. Dengan menanam makanan sendiri, keluarga tidak hanya menghemat pengeluaran, tetapi juga membangun kemandirian dan harga diri. Ini adalah bentuk perlawanan terhadap sistem ekonomi yang seringkali tidak adil bagi masyarakat adat.
Kedua, Pemulihan Budaya dan Identitas Lokal: Modernisasi sering membawa dampak sampingan berupa pelunturan budaya lokal. Dalam GERTAK, Uskup Saklil mengajak umat untuk bangga terhadap budaya sendiri: memasak di tungku, menanam ubi, memakai noken, dan berbicara dalam bahasa lokal. Gerakan ini adalah bentuk penguatan identitas Papua yang sering terpinggirkan dalam wacana pembangunan nasional.
Ketiga, Pemberdayaan Perempuan Papua; Tungku api identik dengan peran perempuan. Dalam konteks ini, GERTAK menempatkan perempuan sebagai pusat kehidupan, penjaga nilai dan pemberi kehidupan. Menanam daun ubi juga memberi perempuan ruang aktualisasi dan peran ekonomi yang signifikan. Perempuan bukan hanya ibu rumah tangga, tetapi pengelola sumber daya, pendidik, dan pelaku pastoral sejati dalam rumah tangga dan komunitas.
Empat, Spiritualitas yang Kontekstual dan Membumi: GERTAK menolak pemisahan antara kehidupan spiritual dan kehidupan harian. Bagi Uskup Saklil, memuliakan Tuhan berarti juga merawat tanah, menanam makanan, menjaga keluarga, dan berbagi hasil panen. Ini adalah bentuk spiritualitas kontekstual yang menyatu dalam kehidupan masyarakat Papua, sebuah bentuk iman yang menyehatkan, membebaskan, dan menumbuhkan.
Warisan Pastoral Uskup Saklil yang Masih Hidup
Uskup John Philip Saklil adalah sosok yang tidak hanya berbicara tentang keadilan dan kebaikan, tetapi juga menghidupinya. Ia dekat dengan umat, berjalan kaki ke kampung-kampung, duduk di tungku api bersama keluarga, dan memahami apa yang sesungguhnya dibutuhkan umatnya. Warisan GERTAK adalah cermin dari cara berpikir dan spiritualitasnya: sederhana, membumi, namun sangat revolusioner.
Hari ini, meskipun uskup telah wafat, semangat GERTAK terus hidup. Banyak komunitas di Papua yang mulai kembali menyalakan tungku api, menanam daun ubi, dan membangun kembali kehidupan dari bawah. Ini menunjukkan bahwa warisan uskup bukan hanya nostalgia, tetapi jalan pastoral yang masih sangat relevan untuk Papua saat ini dan masa depan.
Dengan demikian, menanam daun ubi dalam kerangka GERTAK adalah lebih dari sekadar kegiatan bertani. Ia adalah tindakan iman, tindakan harapan, dan tindakan cinta terhadap tanah Papua. Dalam daun ubi, ada harapan hidup. Dalam tungku api, ada semangat keluarga. Dalam GERTAK, ada wajah gereja yang membumi dan menyala dalam kasih.
Warisan pastoral almarhum Uskup John Philip Saklil mengajarkan kita bahwa Gereja tidak hanya ada di altar, tetapi juga di kebun, di tungku api, di dapur, dan di ladang. Ia adalah gereja yang berjalan bersama umat, berbagi makanan, dan menumbuhkan harapan. Maka, selama tungku api masih menyala dan daun ubi masih ditanam, semangat GERTAK akan terus hidup di hati masyarakat Papua.
Komentar
Posting Komentar