Jejak Kertasmu Tak Pernah Hilang: Refleksi atas Kerinduan terhadap Pater Neles Kebadabi Tebai dalam Konteks Dialog Papua-Jakarta



 Oleh: Yulianus Kebadabi kadepa 

Di tengah dinamika sosial-politik Indonesia yang terus berubah, terutama dalam relasi antara Papua dan Jakarta, terdapat figur-figur tertentu yang meninggalkan warisan intelektual dan moral yang melampaui batas waktu dan struktur kekuasaan. Mereka hadir bukan hanya dalam tubuh dan suara, melainkan melalui gagasan tertulis yang menyuarakan realitas yang kerap diabaikan. Salah satu tokoh penting dalam konteks ini adalah almarhum Pater Neles Kebadabi Tebai adalah seorang imam Katolik, penulis produktif, dan pelopor dialog antara Papua dan pemerintah pusat di Jakarta.

Apa yang ditinggalkan Pater Neles bukan sekadar kumpulan tulisan, melainkan jejak kertas yang menyimpan denyut nurani masyarakat Papua. Melalui narasi yang jujur, reflektif, dan penuh keberanian, ia menulis bukan sebagai akademisi netral, melainkan sebagai saksi sejarah dan bagian dari penderitaan kolektif rakyatnya. Dalam tulisannya, ia mengangkat luka kolonialisme internal, ketimpangan struktural, serta kegagalan negara dalam mendengar suara dari timur Papua. Namun ia melakukannya bukan dengan amarah yang destruktif, melainkan melalui bahasa kasih dan semangat rekonsiliasi.

Jejak kertas inilah yang menjelma sebagai warisan imaterial yang tidak lekang oleh waktu. Tulisan-tulisannya menjadi jembatan antara dua dunia: dunia spiritual dan dunia sosial-politik. Dalam konteks dialog Papua-Jakarta, Pater Neles bukan hanya menjadi pengkritik, tetapi juga fasilitator komunikasi. Ia mendorong kedua pihak untuk membuka ruang percakapan yang setara, jujur, dan saling menghargai. Dengan demikian, peranannya melampaui fungsi keagamaan; ia menjadi aktor transformatif dalam membangun imajinasi politik baru tentang keindonesiaan yang inklusif.

Pada suatu pagi yang tenang di pemakaman, Yulianus Kebadabi Kadepa, salah satu kerabat dekatnya, duduk merenung di hadapan makam sang Pater Kebadabi Tebai. Ia membawa sekop kecil dan sebuah pot bunga kosong. Ia membersihkan batu nisan, lalu mengambil segenggam tanah dari sekitar makam dan menaruhnya di dalam pot tersebut. Tindakan ini bukanlah ritual biasa. Ia sedang menanam simbol harapan, bahwa benih perjuangan yang ditanam Pater Neles melalui tulisan dan keterlibatannya dalam wacana nasional akan tumbuh subur di hati generasi penerus.

Ritual pembersihan makam itu menjadi metafora kuat atas upaya merawat memori kolektif terhadap tokoh-tokoh dialog yang kerap dilupakan dalam narasi besar nasionalisme. Dalam relasi Papua-Jakarta, sering kali suara-suara dari Papua direduksi menjadi sekadar “masalah keamanan” atau “isu pembangunan”. Padahal, seperti yang digambarkan oleh Pater Neles, masalah utama bukan sekadar ekonomi atau infrastruktur, tetapi krisis kepercayaan dan ketimpangan relasi kuasa. Oleh karena itu, tulisan-tulisannya hadir sebagai intervensi moral dan politik yang menuntut Jakarta untuk mendengar dengan empati, bukan hanya merespons secara administratif.

Kini, di tengah gelombang informasi instan dan narasi yang mudah dilupakan, jejak kertas Pater Neles tetap menjadi pengingat bahwa kebenaran, ketika ditulis dengan keberanian dan kasih, akan bertahan melampaui zaman. Ia telah menuliskan Papua dari dalam, dengan rasa memiliki yang dalam, dan dengan semangat untuk menyembuhkan, bukan merusak. Di dalam jejak itu, ada ajakan bagi semua pihak, baik di Papua maupun di Jakarta, untuk membangun masa depan yang ditopang oleh keadilan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap martabat manusia.

Dengan menanam bunga di pot berisi tanah dari makam sang Pater Neles Kebadabi Tebai, Yulianus tidak hanya mengenang, tetapi juga mewarisi dan meneruskan perjuangan. Sebab selama masih ada orang yang membaca, mengingat, dan melanjutkan gagasan-gagasan Pater Neles, maka jejak kertasnya tak akan pernah hilang, melainkan terus hidup, menyuarakan keadilan, dan menghidupkan harapan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pastor Yance Wadogouby Yogi Memiliki Imam, Nabi, dan Raja di Jantung Papua yang Berdarah di Intan Jaya

Rencana Tuhan Pasti Indah pada Waktunya

Pater Yance Yogi Memiliki Keberanian