Gerakan Tungku Api

 


(Misi dan Implikasinya bagi Pastoral Keuskupan Timika)


*Yulianus Kebadabi Kadepa


Gerakan Tungku Api adalah suatu gerakan bersama dalam membangun keluarga dan masyarakat asli Papua. Gerakan ini dilatar belakangi oleh dinamika hidup masyarakat yang hidupnya tidak sesuai dengan nilai-nilai hidup manusia.

Atas dasar Gerakan Tunggu Api Keluarga ini dimulai sejak berdirinya gereja Keuskupan Timika, yang diangkat oleh Mgr. John Philip Saklil Pr. Tujuannya untuk mengajak seluruh umat keuskupan Timika agar menghidupkan kembali nilai-nilai spiritual. Semboyan/istilah ini mengangkat gambar spiritual dan jasmani bagi kehidupan manusia sehari-hari.

Gerakan Tungku Api Keluarga ini mau mengajak juga kepada komunitas dalam mewarisi nilai-nilai kemanusiaan. Dalam arti, keluarga sebagai komunitas yang harus benar-benar hadir di dalam hidup manusia terlebih khusus keluarga dan komunitas umat beriman Kristiani.

Gerakan Tungku Api itu sendiri adalah memelihara dan menghidupkan keluarga sebagai komunitas untuk mensejahterakan hidup secara bersama dalam komunitas masyarakat setempat. Dengan tindakan tidak memperjual belikan asset para leluhur yakni, tanah, hutan dan dusun yang ada.

Kata misi adalah istilah bahasa Indonesia yang berasal dari kata Latin mission yang berarti perutusan. Perutusan misi itu adalah tugas dan tanggungjawab yang dipercayakan Yesus kepada para Murid.

Misi sendiri pertama kali dimulai oleh Allah sendiri dengan mengutus Putra yang tunggal kepada manusia. Kehadirannya membawa keselamatan dan kedamaian bagi semua manusia. Misi yang satu dan sama dilanjutkan oleh Geraja masa kini di tanah Papua secara umum. Pewartaannya terlihat dalam konteks kehidupan masyarakat di Papua, terlebih khusus di keuskupan Timika, tepatnya dalam Gerakan Pastoral Tungku Api Keluarga (GERTAK).

Dalam teologi pastoral menegaskan pentingnya berpastoral dalam kaitannya dengan pelayanan secara kontekstual. Gereja melanjutkan misi Allah itu sendiri kepada manusia untuk meneruskan melalui karya pewartaan kepada masyarakat.

Arti teologi pastoral tidak hanya terfokus pada pelayanan pastoral, tetapi juga menyangkut pengetahuan teologi sebagai tanda keselamatan bagi orang yang tidak mengenal dan mengetahui tentang Allah sebagai penyelamat manusia. Maka pentingnya berpastoral kepada umat agar mereka pun merasakan kehangatan kehadiran Allah dalam kehidupan mereka sehari-hari dari cara berpastoral kepada orang yaitu umat itu sendiri.

Pentingnya pengetahuan itu diimplikasikan dan pelayanan pastoral itu nyata sesuai misi melalui proses refleksi dan evaluasi berdasarkan spesialisasi dalam perjalanan berpastoral di Keuskupan Timika. Gerakan Tungku Api Keluarga itu adalah inspirasi dalam keluarga dan komunitas kristiani. Anggota dalam komunitas dapat merasakan kehangatan dan kenyamanan dalam nilai-nilai hidup atas Tungku Api yang telah diwariskan oleh tetek nenek moyang kita (orang Papua).

Tungku Api secara simbolis adalah seperti cahaya terang yang bernyala di dalam Tungku Api yang selalu menggambarkan daya hidup manusia. Dalam simbolisme itu juga tampil adanya kehidupan keluarga dan komunitas lokal di Papua.

Tunggu api harus selalu menyala menjadi sebuah slogan untuk mempertahankan hidup di tengah tantangan zaman. Tungku Api Keluarga harus mendapat fungsinya, Jika fungsinya berjalan dengan baik maka keluarga dan komunitas hidup gembira, bahagia, dan sejahtera. Jika ketika kita tidak menyalakan Tungku Api maka hidup kita gelap. Dalam refleksi teologis terkait dengan tungku api dipahami sebagai suatu panggilan misi perutusan. Inspirasi ini kita dapatkan di dalam perutusan 70 (tujuh puluh murid-muridnya (Bdk. Lukas 10: 1-24). Atas dasar pengalaman tugas perutusan ini adalah berharga karena berasal dari Tuhan itu sendiri, sehingga tugas pewartaan kabar gembira dibawa kepada umat manusia.

Dengan membawa kebenaran itu memberikan semangat kepada umat sehingga dapat mengetahui dan mengenal relasi dengan Tuhan, sesama manusia dan ciptaan lain. Pentingnya menjalin relasi itu dalam tugas perutusan misi karena di situ benar-benar Yesus Kristus hadir sebagai penyelamat manusia.

Dalam Injil di atas menawarkan kepada kita untuk menjadi pembawa kabar sukacita dalam hidup manusia pada masa modern yang penuh dengan tantangan ini. Kita orang Kristiani sebagai murid Kristus yang dipanggil untuk membawa terang dalam keterbatasan hidup kita, dan mengambil bagian dalam tugas perutusan misi itu dalam kehidupan kita masing-masing. Tugas perutusan itu dilaksanakan berdasarkan profesi kita misalnya, sebagai guru tugas dan tangagung jawab adalah untuk mengajar demikian pun yang lain.

Gerakan tungku api adalah sebagai gerakan bersama bukan hanya Keuskupan Timika saja, gerakan yang secara umum dilakukan dalam konteks masyarakat Papua secara lokal di Papua, dengan tujuan mencintai hidup itu sendiri. Gerakan tungku api itu sebagai visi penyatuan umat beriman Kristiani sebagaimana Allah Tritunggal yang satu dalam relasi dan ditemukan dalam persekutuan para Kudus di surga serta kesatuan di bumi Papua tercinta ini. Gerakan tungku api mengarah kepada keluarga dan komunitas supaya melestarikan dan mewariskan budaya kita dengan cinta. Karena pewarisan dengan cinta tungku api akan selalu menyala dalam kehidupan sehari-hari.

Dimensi itu yang tampak dalam keluarga. Gerakan tungku api sebagai bentuk pelayanan gereja di Keuskupan Timika pada masa kini. Gerakan itu dilihat sebagai sebuah program dalam bentuk-bentuk pelayanan pastoral semangatnya tidak terlepas dari sakramen. Gereja dipanggil oleh Allah model yang kita buat adalah cinta kasih sesuaikan dengan kebutuhan umat di Keuskupan Timika. Dialog antara kehidupan masyarakat local dan kehidupan gereja selain keluarga ada juga komunitas.

Filosofi Hidup Suku Mee

Orang Mee menghidupi dan merealisasikan filosofi dou (melihat), gai (Berpikir), ekowai (bertindak, melakukan sesuatu) dalam dinamika kehidupan mereka. Folosofi ini didasarkan pada nilai dan norma dalam ajaran touye mana.

Ajaran touye mana dalam budaya Mee suatu pintu masuk ke dalam nilai-nilai kristiani implikasinya dengan Gerakan Tungku Api Keuskupan Timika.” Adalah sebagai tanda keselamatan bagi umat manusia dan terlebih khusus suku Mee. Pembahasan ini didasarkan pada pengtingnya pengetahuan dan penghayatan orang muda tentang nilai-nilai kristiani dan implikasinya dengan Gerakan Tungku Api pada masa modern ini. Karena pada masa kini orang melupakan filosofi dan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh para leluhur.

Pada masa modern ini, banyak generasi muda yang kurang memahami melestarikan nilai-nilai kristiani dalam karya pastoral berbasis gerakan Tungku Api yang ada dalam ajaran touye mana dalam kehidupan sehari-hari. Faktor penyebabnya ialah kurangnya penjelasan orang tua, lingkungan hidup yang heterogen, dan tindakan tidak meneruskan tradisi karena dianggap telah usang penyebab hilangnya nilai-nilai tersebut.

Masalah pokok dalam tulisan ini ialah apa itu ajaran touye mana, bagaimana orang Mee memandang ajaran touye mana dan hubungannya dengan nilai-nilai kristiani, yang kita imani sebagai Tungku Api. Iman kristiani yang diajarkan oleh Allah kepada bangsa Israel dan diwujudkan oleh Yesus Kristus. Nilai dan ajaran yang sama kini Gereja mewartakan di tanah Papua dan secara khusus di Keuskupan Timika.

Yesus mengenapi hukum Taurat Musa dan pewartaan para nabi. Yesus mengajarkan para pengikut-Nya untuk mengasihi Allah dan sesama manusia. Mengasihi Allah dan sesama manusia merupakan kunci dari ajaran iman kristiani. Mengasihi Allah berarti mentaati seluruh ajaran dan menghindari semua larangan dan melaksanakan perintah-Nya. Manusia mengalami keselamatan (ayii) kini dan di sini dan ketika beralih dari dunia ke dunia yang lain.

Sipritualitas Tungku Api

Secara umum suku-suku di tanah Papua menggunakan api di setiap rumah keluarga. Masayarakat memandang tungku api sebagai roh yang menghidupkan sekaligus menghangatkan manusia. Kehidupan manusia membutuhkan api sebagai suatu unsur yang sangat penting memasak dan kebutuhan lainnya. Dalam Kitab Suci api digambarkan sebagai simbol karya Roh Allah nyata dalam kehidupan manusia.

Orang Kristiani memahami bahwa api memancarkan cahaya nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kedamaian dalam kehidupan manusia. Selain itu, api juga dimaknai sebagai Roh yang memberikan kehidupan. Roh itu benar-benar hadir dalam Tungku Api yang selalu bernyala. Ini sebagai tanda bahwa Allah menciptakan manusia berasal dari sebuah tanah dan kembali ke tanah pula.

Paus Fransiskus Mengeluarkan ensiklik Laudato Si untuk mengajak umat Katolik seluruh dunia agar menjaga, melindungi dan mengelolah keutuhan ciptaan Tuhan. Bumi ciptaan Tuhan ini rumah bersama semua orang maka kita bersama-sama merawat, melindungi dan mengelolah sambil menjaga keseimbangan alam ini.

Gerakan Tungku Api Kehidupan Keluarga (GERTAK). Tungku Api adalah inti dari dapur yang memberikan kehangatan, penghidupan bagi siapa saja yang tinggal di rumah. Alam ini ibarat tungku api untuk mengelolah dan memberikan penghidupan bagi umat manusia. GERAKAN berarti proses dalam kehidupan yang terus-menerus diusahakan oleh kita. Gerakan mengandung Spirit yang mengarahkan kita berjuang dalam berbagai segi kehidupan, di dalam keluarga, di dalam Komunitas.

Mungkin baik kami mengangkat beberapa kebijaksanaan atau Nasehat/ Wejangan dari Bapak Gerakan Tungku Api Kehidupan (GERTAK) Alm. Mgr. Johanes Philip Saklil, Pr.

“Jangan hidup dari hasil jual tanah dan dusun tetapi hidup dari hasil olah tanah dan dusun”

“Jangan mati di rumah kos, rumah sewa, rumah kontrakan, tetapi harus mati di rumah sendiri atau rumah pribadi”

“Hidup dari hasil kebun bukan dari hasil jual tanah”

“Jangan pernah hidup bergantung pada orang lain”

Setiap Keluarga mengelolah rumah dan pekarangan sebagai sumber kebutuhan hidup dan menjamin perlindungan kebutuhan ciptaan Tuhan. Maka itu, saya mengajak setiap keluarga untuk punya rumah sendiri, punya kebun sendiri dan punya sumber keuangan sendiri. “ketika kita mati, jangan kita dikuburkan di rumah sewa, di rumah kos dan di rumah kontrakan, melainkan di rumah sendiri, rumah pribadi”. Wasiat Bapa Tunggu Api Kehidupan, Alm. Mgr. Yohanes Philipus Saklil, Pr. ” Parate Viam Domini”.  (*)

*Penulis Adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat-Teologi “Fajar Timur” Abepura-Papua

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pastor Yance Wadogouby Yogi Memiliki Imam, Nabi, dan Raja di Jantung Papua yang Berdarah di Intan Jaya

Rencana Tuhan Pasti Indah pada Waktunya

Pater Yance Yogi Memiliki Keberanian