Gerakan Tungku Api: Tradisi Gerejawi dalam Menjaga Tanah dan Identitas Orang Papua
(Refleksi atas Gerakan Tungku Api, Keuskupan Timika, Tanah Papua, Identitas Budaya, Tradisi Gerejawi, Ekopastoral)
Oleh: Yulianus Kebadabi kadepa
Gerakan Tungku Api merupakan sebuah inisiatif tradisional dan spiritual yang diwariskan oleh almarhum Mgr. John Philip Saklil, Uskup Keuskupan Timika. Gerakan ini bertujuan menjaga dan memperkuat hubungan orang Papua dengan tanah sebagai warisan leluhur, sekaligus menolak praktik penjualan tanah yang semakin marak terjadi. Refleksi ini bertujuan menganalisis makna simbolik, nilai-nilai budaya dan religius, serta peran gereja dalam membina kesadaran ekopastoral melalui Gerakan Tungku Api. Dengan menekankan pentingnya menghidupi tanah daripada menjualnya, gerakan ini menjadi alat penting dalam menjaga identitas budaya dan keberlangsungan hidup masyarakat Papua.
Bagi masyarakat adat Papua, tanah merupakan sumber kehidupan, identitas budaya, serta warisan leluhur yang tidak ternilai harganya. Tanah tidak hanya dipahami sebagai aset ekonomi, tetapi juga memiliki makna spiritual yang mendalam. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, Papua menghadapi tekanan kuat dari arus modernisasi dan ekspansi kapital, yang mengakibatkan maraknya praktik jual beli tanah secara tidak adil dan eksploitatif.
Keuskupan Timika, di bawah kepemimpinan almarhum Uskup John Philip Saklil, merespons kondisi tersebut dengan meluncurkan Gerakan Tungku Api, sebuah gerakan gerejawi yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran umat akan pentingnya menjaga tanah sebagai pusat kehidupan dan identitas. Gerakan ini mengajak umat untuk tidak menjual tanah, melainkan menghidupinya melalui kerja dan pengolahan yang berkelanjutan, sebagai bagian dari tanggung jawab iman dan budaya. Dibawa ini penulis mereferensikan beberapa makna dan simbol identitas gerakan tungku api.
1. Makna Simbolik Gerakan Tungku Api
Tungku api merupakan simbol penting dalam budaya Papua. Ia melambangkan pusat kehidupan rumah tangga, tempat berkumpul, berbagi, dan menjaga nilai-nilai kekeluargaan. Dalam konteks gerejawi, tungku api ditafsirkan sebagai pusat iman dan kehidupan komunitas yang terus menyala melalui kerja keras, solidaritas, dan pelestarian tanah. Gerakan Tungku Api menjadi panggilan untuk kembali ke akar budaya dan memperkuat relasi spiritual dengan alam.
2. Pesan Ekopastoral: “Jangan Jual Tanah”
Pesan utama Gerakan Tungku Api adalah larangan menjual tanah, dengan semboyan yang kuat: "Jangan jual tanah, hidupi dari hasil olah tanah." Dalam perspektif ekopastoral, gerakan ini menekankan bahwa tanah adalah anugerah Tuhan yang harus dikelola secara bertanggung jawab demi keberlanjutan hidup generasi masa kini dan mendatang. Penjualan tanah mungkin memberikan keuntungan sesaat, namun berdampak buruk dalam jangka panjang, seperti hilangnya hak atas tanah, terpinggirkannya masyarakat adat, dan hancurnya struktur sosial-budaya.
3. Peran Gereja dalam Perlindungan Hak Adat
Gereja Katolik di Timika menjalankan misi pelayanannya tidak hanya dalam aspek rohani, tetapi juga dalam memperjuangkan keadilan sosial dan kultural. Uskup John Saklil dikenal sebagai pemimpin yang vokal dalam membela hak-hak masyarakat adat. Melalui pendekatan pastoral kontekstual, gereja membangun kesadaran kolektif umat untuk mengolah tanah sebagai bentuk tanggung jawab iman. Pendidikan, pembinaan ekonomi berbasis tanah, dan penguatan nilai budaya lokal menjadi bagian integral dari misi gereja dalam Gerakan Tungku Api.
4. Tantangan dan Realitas Sosial
Meskipun pesan Gerakan Tungku Api kuat, tantangan di lapangan sangat kompleks. Tekanan ekonomi, gaya hidup konsumtif, dan intervensi dari pihak luar sering membuat masyarakat tergoda menjual tanah. Banyak generasi muda kehilangan keterikatan emosional dan kultural terhadap tanah leluhur. Hal ini diperparah oleh lemahnya perlindungan hukum atas hak ulayat, serta minimnya akses terhadap pendidikan dan ekonomi alternatif yang berbasis lokal.
Gerakan Tungku Api menjadi bentuk perlawanan kultural terhadap kapitalisme tanah yang mengancam eksistensi orang Papua. Ia hadir sebagai gerakan akar rumput yang membangun ketahanan budaya dan spiritual melalui aksi nyata.
Dengan demikian, refleksi Gerakan Tungku Api adalah bentuk nyata dari spiritualitas ekologis yang kontekstual, relevan, dan menyentuh aspek mendasar kehidupan orang Papua. Ia tidak hanya berbicara tentang tanah sebagai objek, melainkan sebagai subjek kehidupan yang menyatu dengan identitas dan martabat manusia Papua. Larangan menjual tanah bukan hanya ajaran moral, melainkan strategi kultural dan pastoral untuk menjaga eksistensi komunitas adat di tengah arus globalisasi dan kapitalisme modern.
Gerakan Tungku Api adalah warisan spiritual dan budaya yang memiliki relevansi besar dalam menjaga identitas, kelestarian tanah, dan keberlanjutan hidup orang Papua. Larangan menjual tanah bukan sekadar pesan moral, melainkan strategi bertahan hidup dalam menghadapi tekanan ekonomi dan kolonialisme modern. Gereja Katolik melalui Keuskupan Timika memiliki peran strategis dalam membangun kesadaran kolektif untuk menghidupi tanah, bukan menjualnya. Oleh karena itu, pelestarian nilai-nilai Gerakan Tungku Api harus terus digelorakan sebagai bagian dari perjuangan kultural dan spiritual masyarakat Papua.
Komentar
Posting Komentar