Timika: Hujan dan Malaria

 


*Siorus Ewainaibi Degei


Sudah hampir dua minggu lebih saya tinggal di Timika. Saya orang Papua, tapi bukan berarti seluruh tanah Papua sudah saya jejaki, begitu pun dengan Timika. Ini kali pertama saya di Timika untuk beberapa urusan yang tidak bisa dilewatkan. Kami tiba dari Jayapura menggunakan pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT 895. Berangkat dari bandara sentani jam 09:00 tiba di bandara Moses Kilangin Timika pada jam 10:10 WP. Bandara baru Timika, dengan kualitas bangunan yang megah dan modern memberikan kesan awal bahwa ini bukan sekedar kota biasa.

Cuaca panas, lebih panas dari Jayapura, tapi kadang bisa lebih dingin dari pedalaman. Kami menunggu jemputan, seorang Kaka yang setia. Ia mengantar kami ke tempat tujuan dengan syadu. Di tengah jalan seperti biasa, saya mulai menanyakan beberapa hal seputar kota Timika. Sejauh yang kaka saya ini paham ia menjelaskan. Timika baru saja melalui satu iven besar dalam kalbu iman umat Katolik di sana, mereka baru saja merayakan perayaan tahbisan Uskup Bernardus Bofitwos Baru, OSA. Ia adalah Uskup kedua Keuskupan Timika, setelah almarhum Uskup John Philip Saklil. Ia juga tercatat sebagai Uskup orang asli Papua, sebelumnya ia adalah imam asli Papua kedua yang menyelesaikan doktor dari Roma setelah Pater Neles Kebadabi Tebay.

Setiba di tempat tujuan, saya dan beberapa rekan seperjalanan langsung mendapatkan sambutan yang hangat dari beberapa saudara dan keluarga. Kami langsung menuju kamar masing-masing.

Malaria

Seperti yang kebanyakan kita ketahui bahwa Timika adalah kota malaria selain terkenal sebagai kota dolar atau sesuai akronimnya (Timika: tiap Minggu kacau), ini kalau kita lihat dari sisinya yang negatif. Penyakit malaria bahkan menjadi semacam tanda perkenalan awal kita dengan kota Timika. Jalan-jalan ke Timika, lalu tidak kena malaria, itu tidak berkesan katanya. Ya barangkali ini bukan suatu credo yang berlaku massal, tapi hemat banyak orang, sebagai orang baru, malaria Timika adalah salah tuan rumah yang akan melayani. Angka malaria di Timika, Kabupaten Mimika, Papua cukup tinggi. Pada periode Januari hingga April 2023, tercatat ada 31.383 kasus malaria. Dinas Kesehatan Kabupaten Mimika menyebut wilayah ini sebagai daerah endemik malaria karena kondisi geografisnya yang merupakan daerah basah dengan curah hujan tinggi.

Malaria sendiri adalah sakit yang disebabkan oleh infeksi parasit plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Nyamuk yang terinfeksi akan membawa parasit ini dan menularkannya saat menggigit manusia. Setelah masuk ke dalam tubuh, parasit akan menetap di organ hati dan kemudian menyerang sel darah merah, menyebabkan gejala malaria.

Hampir semua rekan dan kenalan saya di Timika bicara tentang malaria. Mereka bilang, ‘kalo su malam, jang lama-lama berdiri di luar, apalagi kalo sedang gerimis atau hujan lebat, nan malaria paku’. Mereka mengingatkan untuk tidak mete atau lembur kelamaan dan kemalaman. Peringatan lainnya juga adalah harus makan tepat waktu dengan porsi yang sekucupnya. Dengan makan tepat waktu dan disiplin otomatis daya tahan tubuh dan stamina kita akan terjaga, sehingga sistem metabolisme tubuh akan jauh lebih baik dalam melindungi tubuh dari rongrongan nyamuk malaria.

Larangan lembur dan himbauan disiplin makan juga olahraga tipis-tipis sudah menjadi protokol keseharian yang tidak bisa kita hindari. Sebagai pemula, saya mengikuti anjuran beberapa saudara yang sudah lebih dulu hidup dan tinggal menetap di Timika, dan tentunya berdasarkan pengalaman mereka sendiri, mulia sekali. Ini bukan narasi menakut-nakutkan, melainkan himbauan persaudaraan dan atau alarm cinta.

Hujan

Saya jadi bingung kenapa malaria begitu subur di Timika? Apa gerangan hal yang menyebabkan Timika sebagai kota dolar yang pesakitan malaria? Rupanya cuaca di Timika yang menjadi salah satu pemicunya (di samping banyak pemicu yang lain tentunya), yaitu curah hujan yang tinggi dan tidak teratur. Menurut pandangan orang-orang setempat, jika pagi tidak hujan maka sore menjelang malam pasti akan ada hujan, jika malam tidak hujan maka pagi sampai sore akan ada hujan. Lalu kita juga bisa bertanya apa kaitannya antara sakit malaria dan curah hujan yang tinggi tak beraturan di Timika itu?

Anda tahu, nyamuk yang menularkan sakit malaria itu hidup di tempat yang basah dan lembab. Semakin lembab suatu tempat semakin banyak akan muncul jentik-jentik nyamuk, dari jentik ia mulai akan bermatarmorfosis menjadi nyamuk dewasa yang sehat dan kuat. Nyamuk-nyamuk dewasa ini sangat ganas, mereka menggigit tanpa ampun sampai sasarannya keok. Anda juga tahu, Timika masih terlihat asri, di tengah kota, bisa kita jumpai kali-kali, ada sepenggal-sepanggal hutan lebat, belum lagi kalau kita mulai masuk ke beberapa wilayah perkampungan akan ada banyak hutan basah. Ini berarti nyamuk akan semakin banyak, jika anda punya pengalaman masuk keluar hutan basah dan lembab anda akan disambut, diantar pulang oleh para nyamuk. Jika daya tahan tubuh kuat, anda mungkin akan bertahan sampai ronde akhir, tetapi bila tidak maka dari hutan para nyamuk tadi akan mengantar saudara sampai ruang rawat inap di rumah sakit.

Jadi sudah cukup jelas, bahwa penyebab malaria di kota Timika ini adalah adanya hutan basah akibat hujan lebat yang acapkali non stop membasahi wajah kota Mimika yang panas. Pertanyaan lanjutkan, kira-kira kenapa curah hujan di kota Timika begitu tinggi dan sulit ditaksir?

Untuk menjawabnya, kita harus tahu dulu kenapa hujan itu bisa terjadi? Bagaimana proses biologis, kimia, dan fisika yang mampu menyebabkan hujan lebat dengan intensitas tinggi? Hujan adalah proses alamiah, di mana air jatuh dari awan ke dataran bumi. Alam punya hukumnya sendiri, ada panas, ada dingin. Ada hujan atau tidak ada. Kita kenal tiga proses terjadinya hujan secara alamiah, yaitu Evaporasi, Kondensasi, Presipitasi. Evaporasi, ini adalah peristiwa alamiah ketika air laut, sungai, danau, dan sebagainya berubah wujud menjadi titik-titik air atau uap. Uap-uap ini akan naik ke langit berkat pancaran sinar matahari yang menghangatkannya. Anda tentu punya pengalaman merebus, ketika air sudah hangat ia akan berubah wujud permukaannya menjadi uap dan terbang begitu cepat membumbung ke atas langit.

Uap-uap air yang naik ke atas langit akan ditampung dalam awan. Di dalam awan uap air tadi akan berubah wujud lagi menjadi kristal es, inilah proses kondensasi. Dalam proses kondensasi air hujan akan terkumpul di dalam awan dan berubah menjadi es. Awan tidak punya kapasitas yang besar untuk menampung jumlah kristal es yang banyak, semakin berat. Akhirnya, kristal es itu akan mencair dan jatuh dari awan membasahi bumi, inilah bagian presipitasi, yaitu cairnya es kristal dan jatuh ke muka dataran bumi yang kita kenal dengan nama hujan. Namun yang terjadi di Timika melebihi hukum alam yang ada. Dari pengetahuan sederhana kita tahu bahwa hujan itu tercipta karena uap dari permukaan air laut, sungai, atau danau di bawa naik oleh udara dan menciptakan proses penguapan, sisa dari proses penguapan ini akan menghasilkan air, karena diombang-ambingkan oleh angin ketinggian, maka laju air tersebut ke muka bumi lebih cepat.

Selain proses alamiah, adanya polusi dari pabrik-pabrik besar, mobil-mobil besar seperti aneka jenis truk juga turut menyumbangkan uap yang mampu menghasilkan cepatnya terjadi proses penguapan di laut, sungai, danau, dan akhirnya turun hujan dalam tendensi yang tak terkirakan. Anda tahu di Timika ada berapa pabrik, perusahaan, kendaraan raksasa, dan sejenisnya? Ada banyak pabrik berserakan di Timika, mulai dari yang paling sulung PT Freeport, turun anak-pinaknya lagi. Setiap hari, setiap saat terjadi pembakaran industri ekstraktif, ada polusi yang dihasilkan, proses penguapan terus-menerus alhasil warga Timika selalu mendapatkan curah hujan yang tidak stabil. Nyamuk tumbuh subur, malaria merajalela, bisnis medis melonjak kegirangan, rakyat kecil makin merana, mereka sakit, uangnya dikeruk, nasib hidupnya abu-abu.

Kita Harus Bagaimana?

Tidak mungkin kita menutup semua industri ekstraktif-predatoris yang ada. Barangkali sudah saatnya muka ekstraktif dari pabrik-pabrik industri ini harus diubah menjadi wajah yang lebih hijau. Krisis bumi menuntut perombakan radikal dalam paradigma dan praksis cara berekonomi kita. Ekonomi adalah bagian vital dari kehidupan kita, namun ketika karena dia kehidupan kita justru terancam, maka tidak salah dan sangat harus sekali bila ekonomi itu kita hembuskan jiwa dan roh agar orientasinya bukan lagi egologis tapi ekologis. Para sarjana ternama menawarkan konsep ekonomi ekologis, ekonomi sirkuler sebagai solusi bagi rumah bumi yang hampir mau roboh karena ketamakan temporal manusia. Mereka bicara soal bagaimana corak industri bukan lagi ekstraktif-predatoris, tapi industri ekologis, yang mempertimbangkan keseimbangan alam. Kekacauan ekologi, terjadi karena tata cara kita memandang dan memperlakukan alam, tanah, air dan segala isinya hanya sebagai komoditas, bukan sebagai patner kehidupan. 

Di mata koorporasi dan oligarki alam adalah objek vital, kata ‘vital’ ini bukan berarti bermakna imperatif moral untuk melindungi, tetapi bermakna imperatif kapital, bahwa ini lumbung orang kaya, ini jantung hati negara-negara kapitalis maju untuk itu tidak boleh ada pihak yang ganggu gugat. Kita anak asli, tapi harus menunjukkan identitas segala macam untuk melihat pintu depan rumah alam indah kita. Inilah penjajahan positif, yang di dalamnya ada rasisme positif, kejahatan dengan wajah malaikat, membunuh sambil tersenyum. Mereka sediakan fasilitas pendidikan dan kesehatan untuk orang lokal yang punya pengaruh dan punya potensi menjadi penjilat taat.

Nyamuk Malaria sebagai simbol Penjajah

Dalam refleksi terakhir saya, saya memaknai penjajah itu sama seperti nyamuk malaria. Anda tahu Anhopeles, ini nyamuk yang di dalam tubuhnya ada parasit, parasit itu bakteri yang mengotori darah, menyerang organ vutal manusia lemah, manusia yang daya tahan tubuhnya lemah, mereka yang memiliki sistem metabolisme tubuh yang rapuh. Nyamuk malaria tidak bisa menularkan parasit ke dalam tubuh manusia-manusia yang sudah mapan makan, gym, istirahat di kasur empuk dengan fasilitas menjanjikan, para bos mafia ekologis sangat jarang terkena malaria. Tapi orang-orang kecil, para pekerja serabutan, mereka yang kerja lembur, siap-siap jadi santapan malaria bila hidup di Timika.

Saya melihat cara kerja nyamuk yang menghisap darah, sampai gendut, kemudian ia pergi, meninggalkan parasit, meninggalkan sakit penyakit, ia tidak peduli wong otaknya berisi diktum isap-isap sampai kenyang, tinggalkan parasit. Penjajah di Timika juga sama, mereka datang entah dari alam gaib mana, mengeruk habis-habisan gunung Nemangkawi dan wilayah lainnya, mereka tinggalkan parasit dalam rupa kekacauan dan kehancuran ekologis yang dahsyat. Mereka menggigit dan menghisap darah kaum marjinal, orang-orang lokal di Timika, mereka tidak menyentuh orang-orang kuat yang tinggal dalam tembok kegemerlapan harta benda yang luar biasa. Bos-bos pabrik dan perusahaan ekstraktif tidak mereka sentuh, sebab itu seperti menyentuh diri sendiri, mereka hanya berani menyentuh orang-orang miskin, kecil, dan tersingkir. Di sinilah saya melihat bahwa rupanya watak dari nyamuk malaria itu sambung menyambung juga dengan watak penjajah, penghisap darah sumber daya alam Papua. Dan bila demikian maka dapat dikatakan bahwa keluarga Rockefeller, keluarga sembilan naga, Bahlil Lahadalia, Luhut Binsar Panjaitan, Haji Isam, Jokowi, Prabowo, dan para penghancur alam lainnya ini adalah sejenis nyamuk-nyamuk malaria paling mematikan di negeri ini. (*)


)* Penulis adalah Alummus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur, Abepura Papua.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pastor Yance Wadogouby Yogi Memiliki Imam, Nabi, dan Raja di Jantung Papua yang Berdarah di Intan Jaya

Rencana Tuhan Pasti Indah pada Waktunya

Pater Yance Yogi Memiliki Keberanian