Tanah Papua dalam Terang Laudato Si’

 


Hak atas Tanah dalam Perspektif Ajaran Sosial Gereja)

Oleh: Yulianus Kebadabi kadepa 


Dalam beberapa dekade terakhir, Tanah Papua sering kali dijadikan sasaran berbagai proyek strategis nasional oleh pemerintah Indonesia. Namun, pertanyaan mendasarnya adalah: apakah Tanah Papua benar-benar merupakan “tanah kosong”?

Jawabannya jelas: tidak. Tanah Papua menyimpan kekayaan budaya, sejarah, spiritualitas, dan sumber daya alam yang melimpah seperti tambang, minyak bumi, dan emas. Wilayah ini dihuni oleh ratusan kelompok etnis yang memiliki sistem adat, hukum, dan tata kelola tanah tersendiri. Sayangnya, dalam berbagai proyek pembangunan berskala besar, baik industri ekstraktif maupun perkebunan monokultur, eksploitasi selalu dilakukan tanpa izin masyarakat adat, melanggar hak ulayat mereka.

Salah satu narasi yang digunakan untuk melegitimasi perampasan lahan adalah bahwa banyak tanah di Papua adalah “tanah kosong”. Istilah ini bukan hanya salah kaprah secara historis dan sosial, tetapi juga bertentangan secara moral dan spiritual dengan ajaran Gereja Katolik.

Latar Belakang Tulisan Ensiklik Laudato Si’

Laudato Si’, ensiklik Paus Fransiskus yang diterbitkan pada tahun 2015, adalah seruan moral dan spiritual untuk merawat bumi sebagai rumah bersama (our common home). Ensiklik ini menggabungkan spiritualitas ekologi dengan keadilan sosial, dan menegaskan secara tegas pentingnya menghormati hak-hak masyarakat adat atas tanah dan lingkungan hidup mereka.

Tanah Papua Bukan Tanah Kosong: Konteks Historis dan Budaya

Tanah Papua telah dihuni selama ribuan tahun oleh ratusan kelompok etnis yang memiliki sistem adat, hukum, dan tata kelola lahan sendiri. Tanah bagi masyarakat adat Papua bukan sekadar sumber ekonomi, tetapi merupakan ruang hidup yang menyatu dengan identitas, relasi sosial, dan spiritualitas mereka.

Secara historis, berbagai wilayah di Papua telah dikelola dengan sistem wilayah ulayat, di mana hak atas tanah diwariskan secara turun-temurun. Penggunaan istilah “tanah kosong” mengabaikan keberadaan relasi ini. Justru, istilah ini sering digunakan oleh negara Indonesia atau korporasi untuk membuka ruang perizinan tanpa persetujuan masyarakat adat. Dalam konteks ini, tanah kosong bukanlah ruang tak berpenghuni, tetapi menjadi alat retoris untuk menghilangkan eksistensi masyarakat adat.

Pandangan Gereja dalam Laudato Si’: Tanah sebagai Karunia dan Ruang Suci

Dalam Laudato Si’, Paus Fransiskus secara khusus menyoroti bagaimana masyarakat adat memiliki hubungan yang mendalam dan suci dengan tanah mereka. Dalam paragraf 146, Paus Fransiskus menulis:

“Bagi mereka, tanah bukanlah suatu komoditas, melainkan suatu karunia dari Allah dan dari para leluhur yang beristirahat di dalamnya, suatu ruang suci yang dengan mereka mereka harus berinteraksi untuk menopang identitas dan nilai-nilai mereka.” (Laudato Si’, no. 146)

Lebih lanjut, Paus Fransiskus menegaskan bahwa tekanan ekonomi global telah menyebabkan masyarakat adat kehilangan akses terhadap tanah mereka sendiri:

“Ketika mereka tetap tinggal di tanah mereka, maka mereka sendiri yang paling peduli untuk menjaganya dengan baik. Namun, dalam berbagai bagian dunia, tekanan ekonomi memaksa mereka untuk meninggalkan tanah mereka... bahkan dijadikan obyek penggusuran yang dimulai dengan ‘pengosongan’ tanah yang sebenarnya dihuni.”(lihat Laudato Si’, no. 146)

Pernyataan ini sangat relevan dengan situasi di Papua, di mana banyak proyek pembangunan dilakukan tanpa konsultasi dan partisipasi yang bermakna dari masyarakat adat. Mereka diposisikan sebagai penghalang pembangunan, bukan sebagai pemilik sah tanah yang telah dijaga selama generasi.

Implikasi Moral dan Sosial: Ajaran Sosial Gereja dan Realitas Papua

Gereja Katolik melalui Laudato Si’ mengajak umat untuk membangun relasi baru dengan bumi dan sesama berdasarkan keadilan dan tanggung jawab bersama. Dalam konteks Papua, pesan moral ini mengandung beberapa poin penting:

Pertama, Tanah adalah bagian dari identitas spiritual masyarakat adat. Pemisahan mereka dari tanah adalah bentuk kekerasan ekologis dan spiritual. Ini bukan sekadar soal hak milik, tetapi soal keberlangsungan hidup dan martabat manusia.

Kedua, Pembangunan harus berbasis partisipasi. Tidak boleh ada proyek pembangunan yang dijalankan tanpa mendengarkan suara masyarakat adat. Prinsip free, prior and informed consent (FPIC) adalah bentuk penghormatan atas martabat manusia dan budaya lokal.

Ketiga, Ekonomi yang mematikan harus ditolak. Jika pembangunan mengorbankan kehidupan, lingkungan, dan nilai-nilai leluhur, maka itu bukanlah kemajuan, tetapi perusakan.

Tanah Papua adalah Tanah yang Hidup, Bukan Tanah Kosong

Tanah Papua bukanlah ruang kosong yang menunggu untuk dieksploitasi. Ia adalah tanah yang hidup, dihuni oleh komunitas yang hidup dalam harmoni dengan alam, dengan sejarah panjang perjuangan menjaga warisan leluhur mereka.

Ensiklik Laudato Si’ mengingatkan kita bahwa memperlakukan tanah sebagai komoditas belaka adalah bentuk pelanggaran terhadap ciptaan dan terhadap keadilan. Dalam terang ajaran sosial Gereja, kita dipanggil untuk berdiri bersama masyarakat adat Papua, menghormati hak-hak mereka atas tanah, dan mendengarkan suara mereka dalam setiap proses pembangunan.

Gereja bukan hanya lembaga moral, tetapi juga sahabat umat manusia yang paling terpinggirkan. Dalam konteks Papua, Laudato Si’ menjadi seruan profetik untuk berpihak pada keadilan, martabat, dan perdamaian yang sejati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pastor Yance Wadogouby Yogi Memiliki Imam, Nabi, dan Raja di Jantung Papua yang Berdarah di Intan Jaya

Rencana Tuhan Pasti Indah pada Waktunya

Pater Yance Yogi Memiliki Keberanian