‘STEFANUS PAPUA’


(Membumikan Iman Kristianisme Radikal)

*Siorus Ewainaibi Degei


Pengantar

Minggu, 01 Juni, selepas satu bulan berbulan madu bersama Bunda Perdamaian, Perawan Maria, Umat Katolik Keuskupan Jayapura, mendapatkan sapaan ilahi melalui kunjungan sekaligus Misa Perdana dari Uskup Keuskupan Timika, Mgr. Bernardus Bofitwos, Baru OSA. 

Sebelum fajar timur membangunkan alam Tabi, banyak orang sudah memadati lingkungan Gereja Katolik Paroki Kristus Terang Dunia Waena. Banyak wajah memancarkan sinar bahagia, mereka menggenakan busana adatnya, menunjukkan identitas asali yang luhur. Keluarga Uskup dari Pantai Barat Papua juga turut hadir, saudari-saudarinya dari Kepala Burung sudah menyiapkan segala sesuatunya untuk menyambut salah satu putra terbaik negeri A3 (Ayamaru, Aifat, dan Aitinyo).

Beberapa umat Katolik dari kalangan suku-suku kerabat juga tampil dengan busana yang sudah Tuhan meteraikan. Masyarakat suku Mee, suku Hubulal, orang-orang dari Selatan Papua yang 2 juta hektar tanah adatnya diberangus Investor, suku Yagai. Suasana sakral tidak bisa kita nafikan. 

Orang-orang merasa khusyuk ketika kesederhanaan dan kepolosan tarian dan nyanyian adat suku-suku bangsa Papua mengarak Uskup, yang adalah anak asli Papua kedua itu rumah Allah. Uskup lahir dari rahim adat, ia besar dalam lingkaran pendidikan inisiasi Won yang amat sakral, lahir sebagai manusia baru secara budaya, ia juga baru saja Allah angkat sebagai pewaris tugas rasuli, dengan dan dalam khasana kebudayaan yang kaya Uskup Bernard menunjukkan identitas asali dan ilahinya sebagai murid Kristus.

Merenungkan Renungan

Seperti biasa dan bukanlah hal baru, Uskup Bernardus Bofitwos Baru, OSA kembali menguncang mimbar sabda Paroki Kristus Terang Dunia Waena. Ini barangkali pengalaman baru bagi sebagian umat Katolik di lingkungan Gereja Waena. Barangkali kotbah-kotbah Uskup Bernard sudah mereka saksikan lewat media sosial sebagaimana yang sudah beredar tanpa reda gemanya itu.

Namun untuk secara langsung mencerap kotbah-kotbah kritis tersebut hari ini baru bisa terwujud. Ada tiga bacaan yang Uskup Bofitwos renungkan, ‘Stefanus Dibunuh, Salus Hadir’ (Kis. 7:55-60), ‘Kedatangan Tuhan Yesus’ (Why. 22:12-14. 16-17.20), dan ‘Doa Yesus untuk murid-murid-Nya’ (Yoh. 17: 20-26). Ini adalah sedikit cuplikan isi kotbah yang menggugah sekaligus menantang dari Uskup Bernard:

“Selamat pagi bapa-ibu sodara-sodari para pastor, suster, frater. Selamat pagi, apa kabar, baik ya? Sehat-sehat saja? Syukur kepada Allah. Santo Stefanus adalah seorang figur beriman sejati. Sebagai seorang figur beriman, terlihat dari perilaku imannya. Santo Stefanus berani memberikan kesaksian imannya di hadapan orang Yahudi melalui penjelasannya tentang karya keselamatan Allah kepada bangsa Israel dan umat manusia. Yang dimulai dari Abraham, Musa, hingga memuncak dalam diri manusia Yesus. Namun orang Yahudi tidak percaya kepada Yesus sebagai Messias Anak Allah. 

Karena kedegilan dan keangkuhan hati mereka. Sehingga mereka tidak mau mengdengarkan kesaksian Stefanus. Karena itu mereka bertindak kejam kepada Stefanus. Ketikaa ia hendak dibunuh, ia manatap ke langit, ia melihat kemuliaan Allah, dan Yesus berdiri di sebelah kanan Allah. Sebagaimana dikatakannya, “Sungguh aku melihat langit terbuka dan Anak Manusia berdiri di sebelah kanan Allah”. Pada detik-detik Stefanus dibunuh oleh massa, ia berdoa, “Ya Tuhan terimalah rohku”, kemudian ia berseru dengan suara nyaring “Tuhan jangan tagungkan dosa ini kepada mereka”. 

Doa Stefanus adalah replika atau pengulangan atas doa Yesus sendiri. Ketika ia tergantung di atas kayu salib, “Ya Bapa, ke dalam Tangan-Mu, ku serahkan nyawaku”. Dan doa Tuhan Yesus atas mereka yang menyalibkannya, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”.

Santo Stefanus adalah seorang figur murid Tuhan Yesus yang sejati, seorang murid Yesus Kristus yang benar, bukan seorang murid Yesus Kristus yang palsu, tiruan, atau murid Yesus karbitan, atau murid Yesus yang bersikap abu-abu terhadap kebenaran imannya. Atau murid Yesus yang menjual Yesus demi jabatan, uang, pangkat, tahta, kedudukan, dan status quo. Tapi Santo Stefanus adalah seorang murid yang sungguh-sungguh sejati, sungguh-sungguh benar, karena keberanian mempertaruhkan seluruh hidupnya demi kebenaran iman yang diyakini dan diikutinya. 

Model atau pola pemuritan Santo Stefanus ini disebut sebagai spiritualitas Imitatio Christi atau spiritualitas imitasi atau mencakup seluruh pikiran, perasan, mentalitas, sikap hidup dan ajaran Tuhan Yesus, Sang Guru dan Sang Martirnya dalam hidupnya, dengan demikian ia menjadi Kristus yang lain (Alter Christi), yang mampu menghadirkan wajah Kristus kepada dunia. 

Karena Yesus adalah satu-satunya aktor kehidupan awal dan kehidupan akhir bagi kita manusia. Ia-lah Alfa dan Omega, yang memberengtangi sejarah perjalan hidup kita dalam perjalanan-Nya menuju kesempurnaan abadi. 

Model atau pola Imitatio Christi yang telah ditunjukkan oleh Santo Stefanus, inilah yang sangat diharapkan oleh Tuhan Yesus kepada kita semua pada jaman sekarang ini.

Sebagai pengikut-Nya, sebagai murid-Nya, sebagai orang kepercayaan-Nya. Pertanyaan-pertanyaan penting yang harus kita menjawabnya dengan jujur. Apakah kita bisa seperti Santo Stefanus? Apakah kita bisa menjadi murid yang bermental permisif saja? Atau murid yang bermental mencari nyaman saja? Atau murid yang bermental menggunakan nama Tuhan Yesus demi diri sendiri, jabatan, kedudukan, dan status quo? Ataukah kita sungguh menjadi murid yang mempertaruhkan kebenaran-Nya apapun resikonya? Sebagaimana Stefanus. Mempertaruhkan seluruhnya dan mengorbankan seluruh hidupnya, jiwa-raganya, demi Sang Guru, Sang Martir Sejati, Yesus Kristus.

Situasi Papua hari ini tidak baik-baik saja. Situasi Papua hari ini diliputi praktek ketidakadilan, kekerasan bersenjata, pelanggaran HAM, pengrusakkan alam hutan masyarakat adat akibat eksploitasi sumber daya alam karena kerakusan dan ketamakan para oligarki bangsa ini. Serta penghancuran terhadap nilai-nilai budaya dan identitas sejarah bangsa Papua. 

Pada kesempatan ini, saya memberikan aplos atau pujian kepada orang-orang mida Papua dan non Papua. Para pejuang kebenaran, keadilan, kemanusiaan, keutuhan ciptaan, yang berani bersuara, berteriak di jalan-jalan, di hutan-hutan rimba Papua, di dalam dan di luar negeri. Yang menuntut penegakkan atas hak-hak asasi dan martabat orang Papua yang dirampas dan diinjak-injak oleh para penguasa bangsa ini. 

Kalian adalah Stefanus-Stefanus jaman ini, di tanah Papua ini, di Indonesia ini, di luar negeri. Keberanian kalian menyuarakan kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia serta keutuhan ciptaan adalah wujud iman kalian kepada Sang Martir sejati. Perjuangan kalian bukanlah untuk diri kalian, melainkan perjuangan kalian adalah untuk kepentingan kemanusiaan universal, kepentingan keutuhan alam, dan kepentingan kebenaran iman yang diajarkan oleh Sang Guru Kehidupan, Yesus Kristus. 

Namun ada dua hal yang mau saya berpesan kepada orang-orang muda pejuang kebenaran, keadilan, kemanusiaan, dan keutuhan ciptaan ini, yang berada di Papua maupun di luar Papua, baik di luar di Indonesia ini maupun di Indonesia:

Yang pertama, tirulah sikap Stefanus yang beedoa menyerahkan rohnya pada Tuhan Yesus ketika ia dibunuh. Doa penyerahan, adalah pemberiaan diri seutuhnya, komitmen tinggi menjadi pengikut sejati, kepada Yesus.

Yang kedua, mendoakan mereka yang memusuhi kalian. Inilah ciri khas iman orang kristen sejati, karena meniru dan mengikuti teladan Sang Guru, dia harus berani mengampuni musuh dan mereka yang bersikap jahat terhadap kita, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat. Inilah kualitas pengikut Kristus yang benar. Karena itu para pejuang muda, berdoa dan berjuang, demi kebenaran, keadilan, kebaikan, keutuhan ciptaan, dan keutuhan persatuan Gereja baik di tanah Papua ini maupun Gereja univerasal. Hanya berani mengatakan kebenaran, berani menunjukkan sikap bahwa kebenaran adalah tetap kebenaran menjadi prinsip hidup kita sebagai pengikut Kristus yang sejati. 

Marilah kita berdoa, supaya kita juga dalam hidup kita masing-masing, kita sungguh-sungguh memperjuangkan kebenaran, memperjuangkan keadilan, hak asasi, martabat alam, martabat manusia. Bukan kita partisipasi dalam kejahatan, rekayasa, iblis dunia ini, sebagaimana dikatakan oleh penulis Injil Yohanes, Dunia punya karakter lain, dunia tidak mengenal Yesus, Sang Guru Sejati, tapi kitalah yang mengenal Dia. Kitalah yang dipilih oleh Tuhan, kitalah yang berani mengikuti, mengatakan ya atau tidak, karena kitalah yang mengenal Yesus dan Dia mengenal kita, dan kita adalah satu di dalam Dia, Dia di dalam kita, Amin.”

Kristianisme Radikal: Kembali ke Yesus dari Nazaret

Melihat, membaca, dan merenungkan kembali kotbah-kotbah Uskup Bernard sejak terpilih, ditahbiskan, hingga hari ini kami menilai bahwa ia sedang menawarkan pemahaman kristianisme radikal. Konsep kristianisme radikal ini penting di tengah situasi iman umat yang goyah. Ia mau mengajak orang atau umat untuk lebih bersungguh-sungguh mengimani Tuhan, dalam hal ini Yesus Kristus di jalan kemartiran salib. Iman yang radikal. 

Menjadi Kristen radikal, bukan sekedar data yuridis-formil yang menunjukkan keimanan dan kemuridan. Melainkan fakta identitas asali, identitas eksistensial dan esensial. Kata radikal sudah banyak disalahpahami banyak orang, terutama kaum progresif irasional atau konservatif irasional juga. Radikal selalu orang identikan dengan terorisme, fundamentalisme, konflik, perang, kekerasan, dan lainnya.

Ada wacana seputar Islam radikal, atau radikalisme agama. Kutuk peyoratif yang secara semantik dialamatkan kepada diksi dan resonansi ‘radikal’ sejatinya adalah sebuah bentuk contradictio in terminis. Padahal radikal itu sendiri secara leksikal berarti ‘akar’, esensi, dan subtansi dari suatu objek atau hal. Tidak ada kaitannya sama sekali dengan darah, senjata, pedang, perang, dan sejenisnya.

Ketika kita berbicara soal radikal, berarti kita berbicara soal akar, dasar, dan atau esensi dari sebuah hal. Sehingga kalau berbicara soal kristianisme radikal artinya adalah menjadi kristus lain, kristus dalam wajah pribadi yang bersangkutan.

Dalam wacana teologi pembebasan, kalau kita bertolak ke Amerika Latin, Spanyol tepatnya, ada nama Juan José Tamayo. Tamayo adalah salah satu teolog pembebasan terkemuka Amerika Latin berkebangsaan berdarah Spanyol. Ia baru saja menulis sebuah teologi luar biasa yang berjudul ‘Cristianismo Radical’ (2025). Leonardo Boff berkesempatan memberikan kata pengantar yang gurih atas buku ini, ia menyarankan agar para pembaca teologi pembebasan, khususnya haluan Amerika Latin untuk membaca karya-karya Tamayo.

Ketika menulis soal kristianisme radikal, Tamayo hanya mau mengajak para pembaca untuk kembali ke kiblat iman kristen, yaitu Yesus dari Nazaret. Yesus adalah sumber, inti, dan pusat iman kristen. Kristen sendiri sudah secara leksikal mengandaikan identitas ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya, yaitu Yesus Kristus dari Nazareth. Yesus adalah ‘arke’, asas dari iman kristiani, sehingga jika mau menjadi kristen radikal, jalannya ialah menjadi imitasi kristus (imitatio christi), kristus yang lain (alter christi), imago dei (citra Allah). 

Hal-hal ini yang sejauh ini kami lihat begitu gencar Uskup Bernard utarakan. Rupanya beliau mau agar supaya umatnya mengimani Yesus secara radikal, berani menderita, sengsara, dan wafat di salib bersama Yesus di jalan salib Papua menuju kebangkitan Papua Baru, Papua tanah damai, Papua penuh kemuliaan dan pujian penyembahan. Ini adalah sebuah upaya intelektual yang bisa kita jumpai juga jejaknya dalam buku almarhum Paus Benediktus XVI, yang saat itu bernama Kardinal Jozeph Ratzinger. Ia juga menulis tiga volume buku dengan judul umum, ‘Jesu of Nazareth: The Infancy Narratives’ (2012), ‘Jesu of Nazareth: Holy Week: From the Entrance Into Jerusalem to the Resurrection’ (2023), ‘Jesu of Nazareth’ (2007). Ratzinger, Tamayo, dan Uskup Bernard dengan demikian hemat kami sama-sama mau mengkonstruksi kembali identitas kemuridan umat kristen sebagai pengikut Yesus, bukan Yesus dari daerah ini atau itu, bukan Yesus dari suku ini atau itu, bukan Yesus dari ras ini atau itu, bukan Yesus dari budaya ini atau itu, melainkan Yesus dari Nazaret, Yesus sebagaimana yang tertulis dari Kitab Suci, Tradisi Gereja, Magisterium, dan Kesaksian Para Kudus. 

Mengalirkan Spiritulitas Inkulturasi

Uskup Bernardus, menjelang berkat penutup, mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan satu-dua kata oleh ‘tuan rumah’, pengurus dewan Paroki KTDW. Tidak banyak hal yang Uskup Bernard sampaikan, ia menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang berandil dengan caranya masing-masing menyukseskan Misa dan perayaan iman umat. Ia juga membagikan sebuah pengalaman rohani yang banyak bersentuhan langsung dengan Gereja KTDW, baik dari segi arsitektur bagunannya yang khas, yang menurut Uskup Bernard banyak mengandung nilai-nilai teologis yang maha kaya karya almarhum Bruder Bloom OFM, ini juga tentunya sebagai kritik bagi beberapa gedung Gereja yang punya nilai sakral, historis, antropologis dan teologis, namun terpaksa harus terbongkar dengan dalil ‘peremajaan’ dan sejenisnya.

Uskup Bernard berkisah bahwa Gereja KTDW adalah salah satu Gereja yang hampir 90% ia kunjungi saat masih berstatus sebagai frater dan mahasiswa di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur (STFT FT), Abepura-Papua. Ia sendiri sukar menjelaskan secara detail alasannya, namun satu yang pasti bahwa kental dan kuatnya nuansan teologi budaya dalam corak bangunan dan tradisi iman umat KTDW adalah indikatornya.

Ia Gereja yang berbeda dari Gereja-Gereja yang ada, menurut Uskup Bernard, ia mencontohkan bahwa dalam perayaan Ekaristi lagu-lagu yang umat kumandankan tidak melulu bahasa Latin, bahasa Indonesia, atau bahasa daerah, melainkan teranyam secara harmonis sehingga memberikan kesan universalitas Gereja dalam partikularitasnya. 

Beda barangkali dengan beberapa Gereja yang lebih menonjolkan unsur budaya Latin atau budaya nasional sesuai pengalaman Uskup Bernard.

Inkulturasi adalah kata kunci jika kita mau memahami orientasi misi Gereja pasca Konsili Vatikan II. Bukan sekedar konsep, melainkan konteks, bukan pula sekedar konteks kultis-liturgis, melainkan konteks sosial, ekonomi, dan politik yang membebaskan.

Bara inkulturasi ini belum begitu dengan cukup kuat terejawantakan. Sehingga tawaran-tawaran transformatif-transendental dari kristianisme abu-abu, abal-abal, karbitan, dan gadungan ke kristianisme radikal, militan, puritan, dan tulen berkaca pada Yesus dari Nazareth itu selalu identik bersama Uskup Bernard.

Petisi Umat Katolik

Suara Kaum Awam Katolik Papua, pada hari ini Minggu, 01 Juni 2025 kembali melakukan Aksi Ke – 31, Protes Terhadap Pernyataan USMAN di Gereja Katolik Paroki Kristus Terang Dunia Waena, Keuskupan Jayapura. Aksi berlangsung setelah Misa, pukul 10:27 – 12:34 Waktu Papua.

Pada Aksi hari ini, Kami menjalankan PETISI UMAT KATOLIK Untuk Penolakan USKUP KEUSKUPAN Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MSG. Kami menyatakan: (1) Gereja Katolik Jangan Piara “Malum” di Anim Ha, Selatan Papua; (2) Segera Ganti Uskup Keuskupan Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MSC. 

Mengapa? 

1. Uskup Keuskupan Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MSC telah terang-terangan menyatakan dukungannya terhadap Kapitalis PT. Tunas Sawah Ermah.

Pertama, USMAN telah mendukung perusahaan sawit PT. Tunas Sawah Ermah, yang mana telah nyata-nyata melalukan perusakan hutan dan merampok hak-hak hidup masyarakat Adat. Kedua, USMAN telah menerima pesangon dari PT. Tunas Sawah Ermah tersebut.

Masyarakat Adat telah menolak masuknya PT. Tunas Sawah Ermah, tetapi malahan USMAN menerimanya dengan tangan terbuka. 

USMAN malahan menjadi Gembala Bagi Kawanan Srigala-Srigala itu.

2. USMAN menyatakan Mendukung Proyek Strategis Nasional (PSN) di tanah Anim Ha, Selatan Papua. USMAN menyatakan itu adalah Proyek Memanusiakan Manusia Papua melalui PSN. Kata USMAN bahwa mereka yang menolak adalah itu Bodoh, sudah dibayar. 

PSN telah mencuri tanah seluas 2 juta hektar lebih. PSN telah merampok hak-hak hidup masyarakat Adat Anim Ha dan telah Membunuh sumber-sumber hidup dan penghidupan Masyarakat Adat. 

Masyarakat Adat, sebagai Umat Katolik yang hendak bertemu dengan Gembala malahan ditolak oleh USMAN. USMAN justru menyuruh Polisi dan Tentara menghadang Umat Katolik Anim Ha. 

3. Ajaran Sosial Gereja (ASG), “Suka duka, kegembiraan, harapan dan kecemasan Umat TUHAN haruslah menjadi Suka duka, kegembiraan, harapan dan kecemasan Murid Kristus”.

Sebaliknya, USMAN menjadikan ASG sebagai bahan tertawaan, sebagai bahan isapan jempol. 

Suka duka, kegelisaan, harapan dan kecemasan Umat TUHAN di Tanah Adat Anim Ha, bagi USMAN tidaklah berarti apa-apa.

Sebaliknya, Suka duka, kegembiraan, harapan dan kecemasan PSN dalam merampok Tanah, mencuri Hak-hak Ulayat dan membunuh hak hidup dijadikan USMAN sebagai Suka dukanya, kegembiraannya, harapannya dan kecemasannya.

4. Ensilik Laodato Si, Bumi adalah Rumah Kita Bersama yang mestinya dijaga, dirawat dan dilestarikan bersama. Ensiklik ini telah diinjak-injak oleh Gembala, oleh Uskup Keuskupan Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MSC. 

Bumi, teryata bagi USMAN, bukan Rumah kita Bersama. Bumi adalah Rumah bagi Kapitalis, Bumi adalah Rumah Bagi Kebun Sawit, Bumi adalah rumah bagi Pabrik Bioetanol, Bumi adalah Rimah bagi Kebun Tebu. Bumi adalah Rumah bagi PSN. 

Bagi USMAN, Bumi Anim Ha adalah Rumah bagi PSN. Bumi Anim Ha Bukan rumah Masyarakat Adat Anim Ha.

Oleh karena itulah Bumi Anim Ha tidak perlu dijaga, tidak perlu dirawat dan tidak perlu dilestarikan. Karena Rumah Anim Ha adalah milik PSN maka Hutan Adat, Ekosistem yang ada, margasatwa yang ada harus diusir, dilenyapkan, dimusnahkan demi dan untuk Kebun Sawit, Kebun Tebu, kebun Kelapa Sawi, Pabrik Bioethanol dan Sawah. 

Umat bertanya; 

1. “Gembala model inikah yang masih dipertahankan oleh Gereja Katolik, oleh Vatikan, oleh KWI?” 

2. “Masakah Vatikan dan KWI masih mempertahankan USMAN di Keuskupan Agung Merauke?”

3. Siapa yang “Gila”, “Kurang Waras” Domba atau Gembala ? Umat atau Uskup Agung ?

Aksi hari ini bertepatan dengan Misa Perdana Uskup Keuskupan Timika, Mgr. Bernardus Bofitwos Baru, OSA. Umat Katolik sangat antusias mengkuti Misa Perdana. Setelah Misa, Umat juga begitu antusias menandatangani Petisi dan memegang pamflet-pamflet. Akhirnya, dari Aksi Ke – 30, kami menyatakan;

1. USMAN Segera klarifikasi Pernyataan Dukungan terhadap PSN di Tanah Anim Ha, Selatan Papua.

2. Segera Ganti Uskup Keuskupan Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MSC 

3. Vatikan, KWI dan Uskup-uskup di Papua segera lakukan investigasi dugaan Keterlibatan Pemimpin Hirarki Gereja Katolik Keuskupan Agung Merauke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) yang berdampak pada Ekosida, Spiritsida, Etnosida dan Genosida di Tanah Adat Anim Ha, Selatan Papua.

4. Kami Umat Katolik Papua Masih Membutuhkan Uskup Orang Asli Papua di Tiga Keuskupan, yaitu: 

(1). Keuskupan Agung Merauke 

(2). Keuskupan Agats-Asmat

(3). Keuskupan Manokwari-Sorong

Menjiwai Denyut Kristianisme Polikromatik

Mengutip buku Tamayo, salah satu konsep pamungkasnya dalam buku ‘Kristianisme Radikal’ itu adalah konsep kristianisme polikromatik, yaitu konsep kristianisme yang menyatukan lima semangat universal.

Merah

Merah, berkaitan dengan keadilan sosial dan pembelaan terhadap kaum tertindas. Kotbah-kotbah dan karya-karya Uskup Bernard selalu bersenyawa dengan gerakan aktivis kemanusiaan dan ekologi. Ia dekat dengan kerja-kerja kebenaran, keadilan, kedamaian, kemanisiaan, dan keutuhan ciptaan. Mengimani Yesus Kristus, berarti bersedia menjadi pejuang kemanusiaan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. 

Merasa diri anak Tuhan, murid Kristus, namun kehidupan selalu mendukung kekerasan, pelanggaran HAM, dan deforestasi berarti patut dipertanyakan status keimanan kita. Warna merah, dalam refleksi liturgis, berarti simbol pengorbanan, kemartiran, dan kepemimpinan. Menjadi anak domba yang siap dikorbankan atau mengorbankan diri bagi selamat dunia.

Hijau

Hijau – komitmen ekologis. Bumi adalah rumah kita bersama, bukan saja mahkluk hidup bernama manusia, tetapi semua ciptaan. Panggilan menjaga dan merawat ibu dan rumah bumi merupakan panggilan umat manusia. Krisis bumi sudah, sedang, dan akan selalu terjadi, apa solusinya?

Pertobatan ekologis menjadi jalannya, persaudaraan ekologis menjadi pupuknya, demi harmonis ekosistem. Cara pandangan yang terlalu antroposentrisme (manusia sebagai pusat alam semeata), atau biosentrisme (alam sebagai pusat semesta), harus berani dan wajib hukumnya dirombak ke kosmosentrisme (manusia dan alam setara adalah pusat tata semesta).

Mengasihi alam, berarti mengasihi sesama dan diri sendiri, sebab dalam tatanan kosmos, manusia hanyalah salah satu atom atau partikel kimia terkecil, cuman lantaran akal budinya, ia merasa besar, padahal ia lupa, bahwa alam semesta juga punya akal, jiwa.

Ungu

Ungu – feminisme dan kesetaraan gender. Laki-laki dan perempuan adalah sepadan. Kami, terkesan dengan wejangan almarhum Paus Fransiskus, “Apa arti kemanusiaan tanpa wanita? Apa arti seorang pria tanpa seorang wanita? Kita memilikinya di halaman pertama Kitab Suci: akan mengalami kesepian. Pria tanpa wanita hanya akan menjadi sebuah sendirian. Kemanusiaan tanpa wanita itu hampa. Sebuah kebudayaan tanpa wanita juga hampa. Di mana tidak ada peran wanita, akan ada kesepian. Kesepian yang akan menimbulkan kesedihan, dan segala macam hal yang membahayakan umat manusia. Di mana tidak ada wanita, ada kesepian”.

Paus Fransiskus juga menambahkan, “Wanita memiliki kapasitas. Dari refleksi teologis, itu berbeda dengan kita laki-laki, Gereja adalah wanita. Dan jika kita tidak tahu bagaimana, untuk memahami apa itu wanita atau apa itu teologi kewanitaan, kita tidak akan pernah mengerti apa itu Gereja”.

Uskup Bernard, demikian juga Uskup Yan You, keduanya menatakan simbol noken dalam logo epsikopalnya. Noken adalah simbol perempuan Papua yang sejati, ia adalah ibu, sekilas bentuknya bak rahim wanita, bermakna kesuburan, kenyamanan, dan kehidupan. Dalam noken semuanya aman dan selamat. Kedua Uskup anak asli Papua ini memberikan perhatian yang cukup lebih kepada mama-mama asli Papua, perempuan-perempuan hebat dan tangguh. Bahkan, di masa episkopalnya, Uskup Bernard akan menambahkan satu komisi lagi, yaitu Komisi Perempuan. Semua komisi yang akan berfokus pada isu-isu perempuan dan ketidakadilan berbasis gender.

Putih

Putih – perdamaian dan antikekerasan. Perjuangan ahimsa, perjuangan nir-kekerasan adalah cara Gereja menyudahi masalahnya. Dialog dan rekonsiliasi dalam terang Gereja sinodal berwajah kaum pinggiran akan menjadi resep ampuh dan jalan terbaik mewujudkan Papua tanah damai.

Dialog damai antara pemerintah pusat di Jakarta, dan rakyat Papua di Papua adalah sarana atau metode penyelesaiaan yang sejauh dan selama ini tiada duanya. Uskup Bernard, sudah mengusulkan agar pemerintah pusat sudah harus menggunakan hati untuk melihat Papua, bahkan Uskup Bernard menegaskan bahwa Paus Leo XIV bisa menjadi mediator konflik, jika Jakarta berkenan dan berkehendak baik mewujudkan perdamaian dunia.

Pelangi

Pelangi-penghormatan terhadap keberagaman gender dan orientasi. Di belahan dunia lain, isu ini menjadi begitu sensitif. Namun sikap Gereja Universal jelas, yaitu mengakui dan menerima mereka, kaum LQBT sebagai manusia, namun tidak dapat memberikan sakramen perkawinan. Jawaban Paus Fransiskus yang inspiratif dan menohok soal ini, yaitu ‘Who am I to judge?’ yang berarti siapakah saya untuk menghakimi?

 Paus Fransiskus tidak memposisikan diri sebagai hakim, ia lebih menampilkan wajah Gereja sebagai Gembala yang baik, Bapa yang penuh belas kasih, yang merangkul tanpa memecah-belah, inilah sikap-sikapnya yang paling tidak disukai kubuh konservatif. Bendera pelangi belum berkibar di halaman-halaman Gereja Papua, namun bukan berarti hal tersebut tidak akan terjadi. Semoga teladan dari Paus Fransiskus bisa juga dipraktekkan oleh para pemimpin Gereja di tanah ini. (*)

)* Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur, Abepura-Papua.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pastor Yance Wadogouby Yogi Memiliki Imam, Nabi, dan Raja di Jantung Papua yang Berdarah di Intan Jaya

Rencana Tuhan Pasti Indah pada Waktunya

Pater Yance Yogi Memiliki Keberanian