SETELAH 5 TAHUN LEBIH, AKHIRNYA!

 


(Sebuah Catatan Nostalgia)

*Siorus Ewainaibi Degei

Anda akan sangat jarang menjumpai fenomena di mana seorang Uskup dengan jubah kebesarannya mau membaur ke dalam kerumunan umatnya biasa-biasa saja, memeluk denyut sukacita mereka, merayakan perjuampaan kasih itu.

Kebiasaan seka atau goyang khas masyarakat Mimikawe sudah begitu membekas dalam sanubari dan kalbu umat Keuskupan Timika. Alhamarhum Uskup John Saklil (1960-2025), adalah sosok yang banyak orang kenal sebagai gembala yang benar-benar dekat dengan umatnya. Ia pemilik corong Yohanes Pembaptis, raja mob, panglima goyang seka, ia terlihat lincah, energik, dan lihai.

Dalam hajatan apapun, ada dua hal yang melekat dengan Uskup kelahiran 20 Maret 1960

Kokonao, Mimika Barat ini, yaitu goyang seka (tarian modifikasi tradisional masyarakat Mimikawe) dan ebamukai (alas tikar, sebuah bentuk kolekte lokal suku Mee), juga sedikit mob-mob (cerita lucu, lawak) ciptaannya. Dan tentu saja suara-suara kritis-profetisnya sebagai seruan kenabian Gereja universal atas nestapa Papua.

Ketika M.C (Master of Ceremony/Pemandu Acara) menyodorkan skedul kegiatan yang ribet, ia menyarankan agar tidak terlalu berlarut, singkat, jelas, dan padat, karena harus ebamukai, habis itu goyang seka, jadi acara jangan lama-lama.

Dari awal perarakan Misa sampai usai ramah tama pun, Anda tidak akan melihat Uskup John melepaskan jubahnya, mitra dan tongkat tentu akan ia amankan. Busana kebesaran ini akan selalu bersama tubuhnya yang tinggi dan kharismatik. Banyak orang tahu dan bukan rahasia lagi, bahwa hanya Uskup John, yang mungkin satu-satunya Uskup di Indonesia yang biasa pecek-pecekkan, hujan-hujanan, basah-basahan, dan kotor-kotoran bersama umatnya dalam posisi menggenakan pakaian kebesaran Uskupnya.

Umat-umatnya, dari semua kalangan, tua-muda, pria-wanita, hitam-putih, keriting-lurus, semuanya akan ia komandoi sebagai mentor seka yang menghidupkan suasana, membangkitkan semangat, dan membangun persatuan Gereja kudus.

Jika ia menilai ada operator musik yang kakuh, yang tidak memiliki stok koleksi lagu yang sesuai, Uskup John tidak tanggung-tanggung akan menyodorkan flashdicks atau memori card-nya yang memang khusus berisi lagu-lagu seka. Untuk itu banyak kepanitiaan yang selalu sudah mawas sejauh mungkin, untuk menyiapkan beberapa lagu wajib yang menjadi favorit Uskul, misalnya yang paling legendari, seka wajib dengan judul ‘Aika Mipe’.

Pasca meninggalnya pada Agustus 2019 (umur 59) di Rumah Sakit Mitra Masyarakat, Timika, dan di Makamkan pada Agustus 2019 di Pemakaman Imam Diosesan, Jalan Cendrawasih 12 Kwamki, Mimika umat Katolik Tanah Papua kehilangan seorang Bapa. Selama 5 tahun 7 bulan, semangat yang sudah Uskup John tinggalkan di tengah jalan yang ia siapkan itu, berusaha diteruskan oleh administrator Keuskupan, Pater Marten Ekowaibi Kuayo.

Hari ini, Minggu 01 Juni, bertempat di depan halaman Gereja Katolik Kristus Terang Dunia Waena (Paroki KTDW), momen yang selalu sama namun dalam tendensi ruang-waktu yang berbeda, saya melihat seakan-akan Uskup John Saklil tidak pergi begitu jauh.

Usai Misa, dalam perarakan penutup, setibanya di halaman Gereja, secara inisiatif Uskup Bernard bergabung dengan kelompok tarian dari wilayah Maybrat dan wilayah Paniai. Mereka bergoyang bersama, sekalipun terik sudah lumayan menyala, justru itu semakin membakar daya para penari dan Uskup Bernard. Justru tanah yang semakin bergetar.

Hampir setengah jam mereka tarian bersama. Yang unik dan sekaligus mengingatkan banyak orang pada mendiang Uskup John, yaitu dengan semua busana agungnya yang lengkap, Uskup Bernard melebur di tengah-tengah umatnya, yang hampir 90% adalah anak muda Kepala Burung dan anak muda koteka-moge Paniai, terlihat juga pemuda-pemud dari Selatan Papua, suku Yagai, dan beberapa pemuda dari wilayah nusantara.

Banyak umat yang hadir pun tidak mau melewatkan dan meluputkan momen mengharukan itu. Banyak mata kamera hp pintar mereka sorotkan. Mereka mengabadikan momen tersebut, dan tentu umat-umat ini juga sontal kaget, atas gambaran yang tidak masuk skedul perayaan dan acara panitia, tapi yah inilah karya Roh Kudus.

Saya tentu menangkap momen ini seraya membayangkan kisah-kisah lampau ketika Uskup John tanpa tendeng aling-aling menyebar dalam kerumunan domba kegembalaannya.

Pastoral kehadiran. Hadir bersama mereka, mau lebih dekat dengan mereka, tanpa kata, tanpa suara, hanya wajah bersi dan senyuman merekah, itu sudah cukup dan kuat, bagi umat-umat di wilayaj pinggiran.

Uskup Bernard, tidak langsung menghampiri ruang sakaristi, ruang ganti, untuk melepaskan busana kebesarannya, bersama atribut ilahi itu ia bergandenhN tangan dengan erat beraama umatnya, mereka melantungkan puji syukur atas penyelenggaraan ilahi, alam, dan leluhur suci.

Peristiwa sederhana, goyang bersama dengan umat dengan pakaian kebesaran Uskup, ini menampakkan sesuatu yang mahal sekali nilai filosofis dan teologisnya.

Ia, Uskup Bernard mau menunjukkan dirinya sebagak Gembala yang baik, yang dekat dan mengenal domba-dombanya, yang memeluk raga dan jiwa umatnya, yang paham suka dan dukanya.

Mereka tidak lupa siapa mereka, dari mana mereka, di mana mereka, dan kenama akan mereka pergi bersama umat, domba gembalaan, tentunya bukan kamp pembantaian, tapi padang rumput yang hijau, bukan air mata tapi mata air.

Mereka keluar dari status quo yang melekat pada dan dalam atribut busana kebesaran, Anda tengoklah kaum farisi, ahli-ahli taurat, dan imam-imam kepala. Mereka munafik di balik jubah kebesaran, namun tidak bernyali untuk menjadi rendah, kecil, dan miskis menyerupai kaum diaspora, kaum periferial.

Mereka tidak berpisah, mereka selalu dan senantiasa beraama. Siapkan jalan Tuhan menuju Pintu Tuhan. Yohanes Pembaptis sudah BERSERU-SERU, sekarang adalah saat yang tepat bagi sobatnya, Yesus Kristus yang tinggal BERMISI demi selamatnya dunia mulai dari Papua. (*)

)* Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur, Abepura-Papua.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pastor Yance Wadogouby Yogi Memiliki Imam, Nabi, dan Raja di Jantung Papua yang Berdarah di Intan Jaya

Rencana Tuhan Pasti Indah pada Waktunya

Pater Yance Yogi Memiliki Keberanian