Rakyat Papua Yang Tersalib
(Menurut Kitab Amos & Igancio Ellacuria)
Oleh: Yulianus Kebadabi kadepa
Latar Belakang
Istilah “Rakyat yang tersalib” ini mengambil metafora dari refleksi teologis Ignacio Ellacuria kemudian, penulis mengkonteksannya ke dalam wajah Papua. Wajah Papua yang sekarang, tanpa perlu diselidiki, agaknya orang sudah tahu, realtias di Papua secara tertampak memang sudah mengalami banyak kerusakan. Kerusakan ini bukan tanpa sebab, bukan sesuatu penderitaan yang jatuh dari langit begitu saja. Di dalam kerusakan ini, banyak pihak, banyak aspek turut andil merusaknya. Dari segi sumber daya manusia, Rakyat Papua sendiri menjadi korban atas sistem pendidikan yang terstruktur, dari segi kesehatan, orang asli Papua banyak meninggal akibat busung lapar, kelaparan, mengungsi akibat perang. Dari segi politik-ekonomi, peperangan mengakibatkan banyak korban, rakyat kecil menderita, bisnis yang mengorbankan hak-hak orang asli papua; hutannya habis dilahap pemerintah dan kapatalis. Kesemuanya ini adalah kalkulasi kausal yang menyebabkan bentuk dari Papua dan orang-orangnya rusak total.
Tulisan ini, berangkat dari materi kuliah Misiologi itu sendiri dan refleksi atas panggilan perutusan dari salah seorang tokoh Kitab Suci yakni Amos, yang gentar menyuarakan keadilan Allah terhadap realitas ketidakadilan yang terjadi pada masanya.
Serta beberapa pendapat para ahli yang berkecimpung di sekitaran wilayah Kritologi yang memiliki perhatian terhadap realitas dunia yang menderita. Secara khusus saya hendak melihat persoalan mengenai realitas di Papua yang kian hari semakin bobrok oleh karena segelintir orang-orang yang rakus.
Pada hari-hari ini umat Allah di Papua mengalami penderitaan yang begitu berat, baik derita yang dibuat oleh pemerintah Indonesia dan para pejabat dalam Gereja sendiri. Kajian-kajian tentang luka dan derita rakyat Papua telah dikaji dalam banyak disiplin ilmu mengenai Papua. Sedangkan kali ini, saya hendak melihat penderitaan orang-orang Papua sebagai “umat”. Dalam artian bahwa penderitaan ini disebab oleh para petinggi dan pejabat dalam Gereja itu sendiri. Landasan ini saya dasarkan pada pengalaman panggilan Nabi Amos yang menggeluti persoalan yang sama terhadap rakyat dan umat Israel Kerajaan utara waktu itu. Salah satu persoalan yang menonjol akhir-akhir ini adalah masalah tanah di bumi Animha, yang sedang digerogoti oleh Pemerintah Indonesia. Lebih miris lagi, di dalamnya ada campur tangan pejabat Gereja. Paling kurang nabi Amos adalah contoh dan figur yang dapat menjadi contoh untuk melihat persoalan ini. Semuanya ini mengakibatkan muncul sebuah konsekuensi logis yakni penderitaan umat Israel, sebagai rakyat dan umat keci. Dalam konteks itu, rakyat Papua hari-hari ini mengalami penderitaan, mereka tersalibkan oleh tindak-tanduk penguasa dan segala carut-marut yang dibuat oleh pejabat Gereja di bumi Animha. Realitas ini yang oleh Ignacio Ellcuria menyebabkan umat harus menderita memikul salib, tersingkir dari tanah mereka, termarginalisasi dari hutan tempat mereka menggantungkan kehidupan mereka. Ini merupakan sebuah panggilan Allah zaman ini. Merupakan visi-dan misi Allah yang mendesak bagi kita sekalian untuk melihat realitas sekeliling kita.
1. Panggilan Misiologi
Misiologi secara etimologis, berasal dari kata latin mission, yang berarti perutusan. Kata ini memiliki bentuk kata kerjanya mittere yang memiliki beberapa arti, pertama membuang, menembak dan membentur. Kedua, mengutus dan mengirim. Yang Ketiga, mengutus, membiarkan, pergi, melepaskan pergi. Yang keempat mengambil/mengalir (darah). Dalam Vulgata kata mittere mendapat mendapat terjemahan Yunai “pampein” dan “apostelein”, yang memiliki arti mengutus. Keduanya digunakan sebanyak 206x pada Kitab Suci Perjanjian Lama (KSPL) & Kitab Suci Perjanjian Baru (KSPB). Sedangkan orang yang diutus dikenal dengan istilah missionaries (misionari) berasal dari terjemahan Yunani apostolos. Kata ini, dalam KSPB digunakan sebanyak 79x. Sedangkan tugas yang dijalankan oleh misionaris di sebut mission, terjemahan dari kata Yunani apostole yang digunakan sebanyak 4x dalam KSPB. Dari pengertian di atas, dapat dimengerti secara sederhana bahwa misiologi merupakan sebuah misi perutusan (dari kata kerjanya: mengutus/mengirim) yang dijalankan oleh misionaris untuk mewartakan rencana keselamatan Allah kepada manusia. Misi ini dapat dikatakan misi yang terus berlangsung secara turun-temurun, berasal dari Allah Bapa, kepada Yesus yang berinkarnasi menjadi manusia, kemudian dilanjutkan oleh para rasul hingga pada saat Ini, Gereja pun (dalam bimbingan Roh Kudus) di utus untuk mengemban tugas dan misi Allah di dunia ini.
Pengembangan misi Allah/mission Dei tentu perlu untuk dilihat lagi bahwa, rencana apa yang melatarbelakangi misi Allah ini kepada manusia. Maka penting untuk mengetahui apa visi yang diharapkan oleh Allah sendiri bagi manusia. Visi sendiri berasal dari kata visio yang berarti penglihatan, impian, rencana ke depan yang hendak dicapai. Sedangkan kata Dei merujuk kepada Tuhan dari kata Deus. Konsep Visi Allah ini pertama-tama di lihat dari konsep biblis-teologis yang ditawarkan oleh Yesus pada kisah injil Matius 5:2-12. Di sana terdapat visi Allah kepada manusia. Melalui Sabda Bahagia, Yesus hendak menggambarkan cita-cita/impian yang hendak la capai, bersamaan dengan itu pula, Gereja juga mengambil bagian untuk menjalankan visi ini.
Visi Allah ini kemudian menjadi misi Allah. Misi Allah dijalankan oleh Kristus dan dipercayakan kepada para rasul hingga saat ini Gereja. Konsep dari Misi Allah ini berdasar kepada kisah injil Matius 28:18-20. Sebelum terangkat ke Surga, Yesus memberikan mandat, tugas berkelanjutan bagi para rasul untuk memberkati seluruh bangsa, membaptis mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus (ayat 19). Pada ayat ke 20, Yesus bersabda “Dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” Oleh karena itu secara sah dan resmi para rasul telah menerima mandat dari Yesus Kristus sendiri untuk melanjutkan vis-misi yang dipercayakan kepada mereka. Misi Allah ini kemudian menjadi tanggung jawab Gereja saat ini. Maka itu Misi Allah ini dapat pula disebut missio ecclesia. Tanggung jawab yang diterimakan kepada Gereja ini, dapat diuraikan dalam lima tugas Gereja saat ini yang dijalankan oleh setiap murid Kristus di dunia ini.
Kelima tugas tersebut diantaraya adalah Koinonia, Diakonia, Leitourgia, Kerygma dan Martyria. Koinonia menyangkut persekutuan, yang mana persekutuan menjadi dasar dan kesatuan bagi hidup umat Kristiani yang terarah kepada kesatuan dengan Yesus Kristus itu sendiri. Diakonia, merupakan tugas pelayanan yang dijalankan oleh setiap umat beriman sebagaimana yang digambarkan oleh Yesus sendiri tentang pelayanan-Nya. Leitourgia, Gereja dalam tugasnya membantu umat beriman melalui pelayanan doa-doa nya menguatkan relasi umatnya dengan Allah Tritunggal. Kerygma, adalah tugas pewartaan yang mana perintah Yesus mengutus para rasul untuk pergi mewartakan kabar baik tentang kerajaan Allah, karya dan kebangkitan serta keselamatan yang ditawarkan Allah pada manusia. Martyria. Merupakan tugas panggilan untuk menjadi saksi-saksi iman ditengah masyarakat dan dunia, bahkan umat kristiani diajak untuk berani menyuarakan ketidakadilan di tengah masyarakat. Menjadi saksi yang memberikan kesaksian tentang kebenaran Yesus Kristus di tengah dunia.
2. Panggilan Amos
Nabi Amos, merupakan seorang peternak domba yang berasal dari Tekoa. La di terpanggil untuk menjadi nabi dan berkarya di kerajaan Israel (wilayah utara) di bawah kepemimpipan raja Yerobeam II yang berhasil membawa Israel kepada kemakmuran dan memperluas kerajaan Israel (2 Raja-raja 14:25) Oleh karena kecaman Amos terhadap petinggi kerajaan Israel dituding mencari nama demi uang dan diusir untuk pergi ke Tanah Yehuda (Amos 7:12-13). Amos sendiri merasa bahwa ia tidak layak disebut nabi, sebab ia hanyalah seorang penggembala domba”.
Dalam Kerendahan dirinya di hadapan Allah, Amos mendapat panggilan perutusan untuk mengorek, menegur serta membenahi cara pandang bangsa Israel terhadap YHWH dalam hal ini yang dituju oleh Amos adalah Raja, para pejabat pemerintahan dan pemuka agama. Sekurang-kurangnya ada dua persoalan besar yang dihadapi bangsa Israel pada saat itu, yakni Relasi keliru bangsa Israel dengan YHWH dan Ketidakadlian sosial terhadap rakyat kecil di kerajaan Israel pada waktu itu.
2.1 Relasi Keliru Israel dengan YHWH
Berikut ini merupakan realitas kitab Amos menurut Seto Marsunu:
Bangsa Israel menganggap bahwa relasi dengan YHWH yang selama ini mereka bangun dalam ibadat, kurban dan persembahan adalah benar adanya. Sedangkan realitas yang sesungguh terjadi adalah bertolak belakang dengan apa yang diharapkan oleh YHWH. Mereka mengira persembahan yang YHWH kehendaki adalah persembahan yang mereka sukai. Pada Bab 4:1-5, di sana terdapat gambaran mengenai relasi mereka yang mereka anggap benar selama ini kepada YHWH. Di Gilgal dan Betel merupakan tempat suci bagi Israel untuk beribadat, di sanalah kurban dan persembahan gemar dilakukan. Yang menjadi keliru dan kesalahan fatal bagi mereka adalah persembahan dan kurban ini pertama-tama bukan tertuju kepada YHWH melainkan untuk memuaskan diri mereka, mereka mabuk akan kemewahan. Sehingga Amos melihat bahwa ibadat orang Israel adalah ibadat yang jahat (Amos 4:4-5). Karena itu bagi Amos, semakin banyak kurban yang diberikan semakin banyak pula derita yang akan ditanggung, karena itu adalah bentuk penghinaan terhadap Allah. Bagi Amos persembahan yang mereka berikan adalah hasil dari kejahatan yang tidak layak diberikan kepada YHWH. Di satu pihak Israel gemar melaksanakan ibadat di lain pihak mereka justru menolak dan menaanti Allah oleh karena tonggak hedonisme dalam diri mereka.
2.3 Ketidakadilan Sosial (Amos 4:4-5; 5:21-23)
Sebagai akibat dari dosa-dosa struktural buatan para petinggi kerajaan Israel, maka YHWH memberikan hukuman bagi mereka (Amos 4:6-12), akibat yang dirasakan bukan hanya kepada orang tertentu saja melainkan pula kepada semua kerajaan Israel. La memberikan musibah kelaparan dari musim kemarau yang berkepanjangan bagi Israel dan hama bagi tanaman mereka, penyakit sampar dan la membuat mereka diserang oleh bangsa lain sehingga memakan banyak korban jiwa. Tujuan dari pada itu semua adalah untuk menyadarkan dan mengajak mereka kembali bertobat (TY Seto, 2012: 47
Di sini Amos memperingatkan bangsa Israel sebagai akibat dari semuua dosa-dosa mereka; seperti penyembahan berhala dalam bentuk ibadat keliru, melakukan ketidakadilan terhadap rakyat, memeras rakyat yang menuju kepada ketidaktaatan mereka kepada YHWH. Hemat saya, inilah inti alasan mengapa nabi Amos harus diutus ke tengah-tengah mereka, sebab Tuhan lebih peduli pada keadilan dan ketaatan yang benar dari pada sekedar ritual belaka. Ibadah yang sejati bukan semata-mata riual belaka melainkan harus dinyatakan ke dalam tindakan dan hidup sehari-hari. (bdk. Amos 5:24: “Biarlah keadilan bergulung-gulung, dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir”).
Namun, kemudian nabi Amos mengajarkan bahwa YHWH sangat peduli memiliki kepedulian besar terhadap pemulihan (Amos 9:11-15). Walaupun sebelumnya YHWH menghukum mereka, la berjanji akan memulihkan kembali kerajaan Daud yang telah pecah dan hancur karena para pemimpin mereka seperti seorang yang membangun kembali pondok mereka. YHWH berjanji bahwa sisa dari Israel yang ada, akan dipulihkan, dan mereka akan hidup damai di tanah mereka
3. Rakyat Yang Tersalib
Ignacio Ellacuria (1930-1989), merupakan seorang filsuf, teolog dan imam Yesuit, asal Spanyol yang dikenal sebagai salah seorang tokoh terkemuka bagi Teologi pembebasan di Amerika Latin. La getol dalam menyuarakan hak-hak kaum tertindas di El Salvador. La juga terkenal karena kontribusinya dalam menyuarakan keadilan sosial serta mengkritik ketidakadilan yang terjadi secara struktural yang dilakukan oleh rezim otoriter di Amerika Latin, la juga mendirikan sebuah pusat refleksi teologis di universitas Universidad Centroamericana Jose Simeon Canas (UCA). Oleh karena suaranya yang lantang, la sering menerima ancaman dan kerap menjadi incaran pembunuhan, la dan lima Jesuit lainya mati terbunuh oleh tentara elit, sebelumnya terdapat pembunuhan kepada salah seorang imam yakni pada 1977, Pater Rutilio Grande dan uskup Agung Oscar Arnulfo Romero pada tahun 1980.7 (Mario https://www-britannica-com dedikasi 25/09/2024).
Sebelum memasuki refleksi teologisnya, la lebih dahulu untuk mengajak kita, melihat betapa pentingnya, memahami kenyataan dunia dimana kita hidup. Baginya dalam, lingkungan Kristiani paham tentang umat Allah, terdapat kandungan ajaran keselamatan (Soteriologis) dan ajaran mengenai Yesus Kristus (Kristologi). Ellacuria menjelaskan bahwa bahwa kenyataan dunia yang la jumpai sangat mengejutkan, karena ditandai dengan kemunculan orang miskin dan tertindas yang merupakan mayoritas dari penduduk bumi. Kenyataan ini harus mengguggah dan memaksa kita memikirkan dan mencari jalan keluar (Hartono 2003:45 Dari kenyataan inilah yang menurutnya harus dilihat bahwa sebenarnya rakyatlah yang mengalami penderitaan, penyaliban secara struktural. Metafora “rakyat yang tersalib” hendak memperlihatkan: (Hartono 2003 47-49).
Pertama, kenyataan bahwa sebagai badan kolektif yang dalam sejarahnya
Disalibkan oleh pemegang kekuasaan yang menata dan menggunakan kekuasaannya
Untuk menindas mereka. Secara umum ini merujuk kepada keseluruhan kaum miskin
Di seluruh dunia dan secara khusus ini merujuk kepada dunia ketiga saat ini.
Penindasan ini berasal dari tindakan bebas dan diperhitungkan oleh segelintir orang/kelompok kecil yang tidak peduli kepada situasi. Mereka melucuti hidup orang lain dan hidup dalam kelimpahan harta karena mengambil hak milik orang lain.
Kedua, Ellacuria hendak membedah secara jelas ciri-ciri rakyat yang tersalib dengan bersandar pada kisah hamba Yahwe yang menderita dan kisah penderitaan dalam kisah Yesus sendiri. Bagi Ellacuria, rakyat yang tersalib diterima sebagai hamba Yahwe yang menderita kecuali memiliki kemiripan yang sama dengan penderitaan Yesus Kristus, yakni mereka menderita oleh karena dosa-dosa dunia yang disebabkan oleh para pemangku jabatan, mereka disingkirkan oleh dunia dan penampilannya menjadi tidak manusiawi lagi karena tidak dimanusiakan, mereka menderita karena tindakan anti-kemanusiaan yang amat menyakitkan, namun mereka memiliki derajat yang lebih tinggi karena menebus dunia seluruhnya dan akhirnya harus ada kaitan penderitaan mereka dengan kehadiran kerajaan Allah.
Ketiga, Bagi Ellacuria, kemiripan antara rakyat yang tersalib dan hamba Yahwe yang menderita bersifat anugerah. Jika dilihat ciri dasar dari antara keduanya, lebih nyata adalah Yesus yang mengidentifikasikan dirinya dengan mereka yang menderita demikianlah pandangan komunitas kristiani yang awal. Maka tentu saja hal ini berlaku bagi mereka yang menderita demi nama-Nya (Matius 25:31-46 & Matius 26:1-2).
Bagi Ellacuria, penderitaan dunia saat ini, telah mengangkat ingatan akan salib dan menghidupkan harapan akan kebangkitan sejarah. Artinya bahwa kenyataan hidup zaman ini menegaskan kembali arti penting dari perjuangan Yesus dan iman-Nya yang tidak tergoyahkan kepada keselamatan dan kuasa Allah yang akan menang secara definitif. Ellacuria mengutip Lukas 23:24 untuk mengklaim makna penting dari wafat Yesus, “Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya?”. Ciri historis penderitaan Yesus terjadi karena alasan-alasan historis pula. Yang pertama, karena tindakan dan kuasanya tidak dapat ditolerir menurut kaca mata manusia pada waktu itu. Yang kedua adalah Yesus hidup menurut arah sejarah yang paling baik bagi-Nya yakni melaksanakan visi Allah dan merealisasikan misi Allah yakni kedatangan kerajaan Allah (Markus 1:15). La tentu sadar akan konsekuensi yang akan diterima-Nya namun la tidak mengubah haluan pemikiran dan kritiknya atau menghindar dari konflik dengan para penguasa masa itu
Dari kedua pemikiran di atas, saya menyimpulkan beberapa hal mengenai pembebasan dari Ignacio Ellacuria.
Pertama, dalam konteks rakyat yang tersalib di Amerika Latin dan seluruh dunia kaum miskin, Ellacuria menekankan arti pentingnya tindakan dan refleksi yang bertujuan pada kemakmuran dan pembebasan kaum miskin dan tertindas. Fokusnya pada realitas yakni transformasi sosial dan politik pada waktu itu dan juga bukan hanya transformasi spiritual
Kedua, keselamatan historis Yesus yang terjadi dalam realitas sejarah, kini harus ditemukan dan diwujudnyatakan dalam realitas sejarah konkret saat ini, yakni melalui perjuangan melawan penindasan dan ketidakadilan untuk membela kaum miskin dan tertindas. Jika ditambahkan lagi, maka, kisah perjuangan yang disuarakan dalam panggilan nabi Amos dan semua nabi-nabi yang berjuang demi keadilan sosial, harus menjadi suatu desakan dalam bentuk yang nyata saat ini dan pada zaman ini.
Ketiga, Last but not least dari teologi pembebasan Ellacuria, ia menekankan apa yang kita kenal dengan option for the poor (pilihan bagi kaum miskin), artinya bahwa, melalui kenyataan dimana orang Kristiani hidup, mereka semuanya dipanggil untuk berpihak kepada mereka yang termarjinalkan oleh struktur sosial dan ekonomi yang tidak adil. Maka ini merupakan panggilan bagi semua umat Kristen di seluruh dunia dimana pun, ini adalah panggilan Allah yang harus mengguggah hati kaum beriman untuk turut berpartisipasi dalam mewujudkan misi Allah.
4. Rakyat Papua Yang Tersalib
Istilah “Rakyat Papua yang tersalib” ini mengambil metafora dari refleksi teologis Ignacio Ellacuria. Metafora tersebut lahir dari realitas sosial di Papua akhir-akhir ini. Sama halnya seperti panggilan nabi Amos, kini Ellacuria berangkat dari realitas pada zamannya di El Salvador. Perilaku-perilaku penyimpangan sosial, penindasan rakyat kecil, mengakibatkan mereka harus terpinggirkan, tersingkirkan dari tanahnya sendiri.
Nabi Amos tampil waktu itu, untuk menyuarakan ketimpangan dan kesejangan sosial sebagai jurang kemiskinan yang terjadi. Segelintir kelompok, raja dan antek-anteknya merampas hak milik rakyatnya sendiri, demi kepentingan mereka. Gambaran ini kemudian juga dilukiskan dalam refleksi dari Ignacio Ellacuria, yang
Melihat bahwa realitas pada masanya telah mengguggahnya untuk bangkit, melihat penderitaan yang dialami oleh rakyatnya mengakibatkan mereka harus tertindas dan terpinggirkan. Penderitaan ini adalah penderitaan historis yang kiranya juga dialami oleh Yesus Kristus ketika melaksanakan misi Allah di dunia (bdk. Markus 1:15). Senada dengan hal itu, Johan Babtist Metz, kemudian menambahkan, bahwa ingatan akan penderitaan dan kematian Yesus Kristus memiliki peran sosial yang amat mendalam. Perayaan akan kematian Yesus hendaknya bukan hanya dilihat sebagai sebuah ritual belaka, namun lebih dari pada itu, yakni menjadi sebuah perayaan solidaritas yang mengguggat segala macam bentuk ketidakbenaran dan ketidak adilan dalam hidup manusia zaman ini”. Penderitaan Yesus harus menjadi satu di dalam penderitaan rakyat zaman ini yang berdinamika seperti Yesus yang waktu itu tersalibkan. Sehingga perayaan tentang kematian mendapati makna misiologisnya sendiri yakni keselamatan bagi seluruh umat dan rakyat.
Dalam konteks Papua, penderitaan ini tentu tidak terlepas sedari Aneksasi Papua ke dalam NKRI (1961-1969), Aneksasi tahap kedua adalah otonomi khusus tahap I (Otsus Jilid I tahun 2001) melalui undang-undang No.21 tahun 2001 dan Aneksasi tahap ketiga adalah Otsus lanjutan (Otsus Jilid II tahun 2001-2021) disahkan pada undang-undang No.2 tahun 2021. Ini merupakan gambaran historis yang membawa luka dan penderitaan (Memoria Passionis), yang kemudian membawa rakyat Papua dan umat Papua harus memikul salib selama bertahun-tahun lamanya. Dalam sepanjang perjalanan itu, manusia Papua banyak mengalami tindakan ketidakadilan, pembunuhan, pemerkosaan, orang Papua harus mengungsi meninggalkan tanahnya sendiri. Ini baru saja mengulas realitas terkait genosida ras. Dalam tulisan yang digambarkan oleh Bernad Renwarin, mengikuti tulisan Barnabas Suebu (2007), menjelaskan tentang situasi paradoks yang di Papua ini hendak dijelaskan bahwa rakyat Papua di atas kekayaan alammnya sendiri mengalami kemiskinan, singkatnya tanah Papua kaya tapi orang Papua miskin. Lebih lanjut diterangkan bahwa di Papua terdapat 480.578 rumah, dan 81,52% nya merupakan rumah tangga miskin”. Pertanyaannya, mengapa demikian anehnya, realitas ini mungkin tidak masuk akal, namun perlu dilihat kembali bahwa hal ini yang dialami oleh rakyat miskin dan tertindas pula dalam konteks nabi Amos dan Ellcuria, artinya bahwa kemiskinan yang terjadi bukanlah kemiskinan yang disebabkan oleh rakyat Papua sendiri, melainkan karena secara struktural hal ini terus dipertahankan oleh segelintir manusia yang memegang kekuasaan.
Realitas lain yang hari-hari ini marak dan gempar adalah ekosida. Di Papua, terkait pengambilan hutan manusia Papua, menjadi sebuah persoalan tidak lagi baru. Di era pemerintahan Jokowi dan Bahlil saat ini, bumi Animha menjadi korban utama atas kerakusan mereka ini. Mereka adalah representasi dari pemerintahan kerajaan Israel pada zaman Amos dan rezim penjajah pada masa Ellacuria. Benang merah yang dapat ditarik kedua pengalaman ini adalah harus ada perjuangan yang menyuarakan ketidakadilan sosial bagi bangsa Animha dan persoalan ekosida tempat mereka mencari hidup. Lebih parah dari pada itu adalah terdapat sumbangsi untuk memperparah luka-luka itu, bukan datang dari luar melainkan luka itu diperparah oleh “orang dalam Gereja”. Hal ini serupa dengan nabi Amos pengalamannya sewaktu dia diusir dari kerajaan Israel. Ia diusir karena mengecam pemuka agama pada zaman itu, Amazia selaku imam kerajaan berkata “negeri ini tidak dapat lagi menahan perkataannya” dan ia kemudian menyuruh nabi Amos ke Tanah Yehuda (Amos 7:10,12-13). Amazia, selaku imam dalam kerajaan, dapat kita bayangkan, betapa la tentu akan hidup dalam gemilangnya harta,kekayaan, makan yang enak-enak, hidup yang mewah, tentu la tidak memiliki ruang untuk bersentuhan langsung dengan kenyataan hidup yang dialami oleh rakyat sekaligus umat-Nya. Justru sebaliknya, la malah turut memeras, mengambil hak rakyat sewenang-wenang guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka perlu dipertanyakan status dan jabatanya sebagai imam di dalam kerajaan itu, sekalipun dia menjalankan fungsi nya sebagai imam, toh, tetap tidak akan sampai kepada YHWH, sebab YHWH sendiri tidak menghendaki peribadatan mereka pada waktu itu.
Kembali lagi kepada konteks Ekosida di bumi Animha, di sana tadi dikatakan terdapat beberapa petinggi Gereja yang turut berada dan menjadi pelaku di dalam peghancuran lahan dan hutan milik orang Animha itu. Melanjutkan pertanyaan dari saudara Siourus Degei, mengenai proyek sawah, tebu dan lainnya, apakah proyek ini memang betul memanusiakan manusia? Siapa yang memanusiakan manusia? Menurut uskup Mandagi, proyek ini adalah proyek kemanusiaan (Degei Siorus, https://www.Thepapuajournal.com, Secara logis, jika memang benar, proyek ini adalah proyek kemanusiaan, semestinya tidak menimbulkan protes oleh masyarakat adat sendiri. Nampaknya kemajuan yang diharapkan oleh mereka telah mengabaikan dimensi antropologis orang bumi Animha. Mereka bukan buta terhadap kenyataan namun mereka “pura-pura tidak melihat”, sehingga mengakibatkan penderitaan, demi mengejar kemajuan dan pembangunan ekonomi Negara, rakyat kecil Animha harus menderita tersinggkirkan dari atas tanahnya mereka dari hutan tempat mereka menggantungkan kehidupan mereka. Hal ini tentunya menambah deretan luka panjang dan luka historis bagi orang Papua.
Pada kitab suci perjanjian lama, memandang bumi sebagai kita dan kita sebagai bumi. Maksudnya adalah manusia dari tanah akan kembali kepada tanah, maka dari itu kita haru menjaga tanah dan merawatnya secara utuh. Tidak ada yang mau melihat bahwa manusia itu harus hidup dalam penderitaan. Dalam Kejadian 2:15 menyatakan bahwa “Tuhan Allah mengambil manusia dan menempatkanya di taman eden untuk mengolah dan memeliharanya. Kalimat ini kita dapat mengimaninya bahwa segala sesuatu adalah milik Tuhan. Milik Tuhan berarti bahwa Allah menciptakan segala sesuatu itu menjadi titipan kepada manusia, sehingga manusia dapat menikmatinya dan bahwa kitalah yang bertanggung jawab kepada-Nya sebagai pengelolah ciptaan.
Terkait alam semesta seperti yang tertulis dalam KSPL (Kitab Suci Perjanjian Lama) di Kejadian 1:1, “Allah menciptakan langit dan bumi serta isinya”. Pada kejadian 1:1-31 dan Kejadian 1:1-7. Pada pasal ini kitab suci menyatakan bahwa Allah menciptakan bumi, tepat bagi kita agar dapat hidup dan bernafas. Pada dasarnya Kitab Suci mengajarkan kepada kita bahwa Allah menciptakan segala sesuatu tempat dimana kita dapat melakukan segala sesuatu melalui kehendak-Nya kita diberikan mandat untuk menjaga dan melestarikan alam semesta. Oleh sebab itu, tugas kita adalah merawat dan menjaga alam yang Allah percayakan kepad kita. Kita mesti tahu bahwa Allah menciptakan kita sebagai manusia di bumi itu ada maksud dan tujuan.
Patut disadari bahwa bumi merupakan rumah bersama. Dengan merawat dan menjaga bumi kita turut serta melaksanakan keselamatan kolektif dalam konteks bonum commune. Namun dalam konteks Papua setelah masuknya investor dan pemerintah, tanah Papua mengalami banyak pengaruh besar, dalam contoh kecilnya adalah mereka kehilangan air bersih, tempat berburu, tempat mencari ikan dan lain sebagainya. Tempat yang dulunya menjadi tempat mencari nafkah kin dikuasai oleh kebun sawit, tambang emas yang menjalar dimana-mana. Parahnya lagi bahwa, yang menjadi penikmat hasil dan pelaku utamanya adalah orang asing, pemerintah Indonesia dan orang dalam Gereja itu sendiri, sedangkan sang pemilik tanah sendiri berkebalikan dari padanya, yakni menjadi asing, menjadi penonton di atas tanahnnya sendiri, dulunya Papua adalah taman Eden bagi rakyat dan umatnya sendiri, sekarang menjadi Babilonia dan tempat pembuangan bagi mereka pemilik hak ulayat.
5. Refleksi Panggilan Misiologi di Papua
Berangat dari arti panggilan tentang tujuan dan arti mengapa Allah memanggil setiap kita untuk menjadi pewarta sabda Allah dibumi Papua ini, hemat saya, itulah panggilan misiolog bagi setiap OAP Kristiani yang hidup di atas tanah Papua.
Tanggung jawab yang dipercayakan oleh Yesus atas para rasul, sekarang ini menjadi tanggung jawab setiap orang Papua, ini menjadi panggilan Allah yang mendesak dan nyata, atas realitas Papua saat ini. Seperti ajakan awal dari Ellacuria, bahwa la sendiri berangkat dari pada pemahamannya akan realitas bahwa dunianya saat itu, merupakan sebuah fakta mengejutkan karena ditandai dengan adanya orang-orang miskin dan tertindas.
Dalam konteks di Papua, Sekali lagi, bahwa, kenyataan ini memanggil setiap orang Papua untuk melihat kenyataan ini. Inilah kenyataan yang sama, yang dirasakan oleh hamba Yahweh dalam kitab Yesaya, oleh rakyat jelata dalam konteks nabi Amos, oleh Ellacuria dalam pergumulan panggilan hidupnya dan dalam kenyataan hidup Yesus historis.
6. Kesimpulan
Panggilan Misiologi menurut Nabi Amos dan Igancio Ellacuria nampaknya memiliki benang merah yang satu dan sama yakni mereka berfokus pada keadilan.pembebasan dan kepedulian terhadap yang tertindas dan terpinggirkan. Dalam panggilan masing-masing memperlihatkan bahwa dunia tidak hanya mencakup aspek spiritual saja tetapi juga tanggung jawab dan keadilan yang struktural.
Nabi Amos sendiri menekankan dua hal yakni praktik peribadatan palsu dan ketidakadilan sosial yang dilakukan oleh para petinggi dan imam di kerajaan Israel.
Pertama, Amos mengkritik ritual keagamaan yang dilakukan dengan hati yang tidak benar, persembahan yang mewah-mewah, dimana itu membuat Israel mengira bahwa mereka memiliki hubungan baik dengan YHWH. Melainkan sebaliknya, menurut nabi Amos malahan mengkritik balik tindakan tersebut (Amos 4:4;5).
Kedua,nabi Amos melihat adanya praktik ketidakadilan sosial yang terjadi. Sekelipun raja Yerobeam II telah membawa Israel kepada kemakmuran, namun dampak itu hanya dirasakan oleh sebagaian dari orang-orang di dalam kerajaan Israel. Sedangkan bagi rakyat Israel sendiri, mereka justru menjadi miskin oleh karena raja Yerobeam II, para pejabat, imam yang berada di dalam kerajaan. Mereka memeras dari rakyat kecil untuk membuat kekayaa mereka bertambah.
Ignacio Ellacuria, merupakan seorang Imam, filsuf dan teolo dari El Salvador yang penting dalam konteks konsep teologi pembebasan, ia menggabungkan iman kristiani dengan kenyataan sosial dan melawan ketidakadilan sosial dan penindasan.
Pertama, Ellacuria menekankan arti pentingnya tindakan dan refleksi yang bertujuan pada kemakmuran dan pembebasan kaum miskin dan tertindas. Fokusnya pada realitas yakni transformasi sosial dan politik pada waktu itu dan juga bukan hanya transformasi spiritual.
Kedua, Keselamatan historis Yesus yang terjadi dalam realitas sejarah, kini harus ditemukan dan diwujudnyatakan dalam realitas sejarah konkret saat ini, yakni melalui perjuangan melawan penindasan dan ketidakadilan untuk membela kaum miskin dan tertindas. Ketiga, ia menekankan apa yang kita kenal dengan option for the poor (pilihan bagi kaum miskin), artinya bahwa, melalui kenyataan dimana orang Kristiani hidup, mereka semuanya dipanggil untuk berpihak kepada mereka yang termarjinalkan oleh struktur sosial dan ekonomi yang tidak adil. Maka ini merupakan panggilan bagi semua umat Kristen di seluruh dunia dimana pun, ini adalah panggilan Allah yang harus mengguggah hati kaum beriman untuk turut berpartisipasi dalam mewujudkan misi Allah.
Dapat disimpulkan bahwa misiologi dalam konteks Papua menurut kacamata nabi Amos dan Ellacuria pada konteks Papua sebagai rakyat yang tersalib adalah sebagai berikut:
Pertama, Kenyataan di Papua menuntut panggilan mendesak bagi seluruh umat Kristiani di Papua untuk meyuarakan keadilan dan memperjuangkan ketidakadilan sosial yang terjadi.
Kedua, Melawan eksploitasi dan penindasan tertutama dalam konteks, ekonomi, politik dan budaya, sumber daya alam yang memargginalkan orang asli Papua
3. Berpihak pada kaum miskin dan tertindas, memperjuangkan pembebasan yang integral, baik secara sosial, ekonomi dan spiritual.
Keempat, Mendorong perubahan structural, untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan makmur, dimana hak-hak rakyat dan umat sebagai pemilik tanah adat dapat dilindungi dan diakui. Dalam konteks ini, Gereja Papua dan orang Papua, dipanggil untuk menghidupi misi Allah dengan terlibat dalam transformasi sosial dengan memperjuangkan keadilan dan pembebasan bagi orang Papua yang dimiskinkan dan ditindas, sebagai mana yang diwahyukan Allah kepada nabi Amos dan Ignacio Ellacuria.
Daftar rujukan:
Baru Bofitswos Bernadus, Bahan Ajar Misologi: Pengertian dan Dasar-dasar Misi Serta Misi Gereja Katolik Di Tanah Papua Dulu, Kini Dan Akan Datang: STFT Fajar Timur, Abepura, 2024-2025
Marsunu Seto YM, Suara Ilahi: Pengantar Kitab-Kitab Kenabian: Kanisius, Yogyakarta,2012
Budi Hartono, Teologi, Pendidikan & Pembebasan: Kanisius, Yogyakarta, 2003
Saur Gonsalit Wilhelmus, Transendensi Diri Dalam Luapan Belas Kasih Dan Kerahiman Allah: Obor, jakarta 2023
Degei Siorus, Mandagianisme (bagian II): https://www.thepapuajournal.com
Aguilar Mario, Ignacio Ellacuria, https://www-britannica-com
Yatipai Ricki, Metafora “Rakyat Yang Tersalib Dan Penderitaan Orang Papua”, https://arsip.Jubi.id, 19 November 2021
Renwarin Bernadus, Limen Jurnal Agama Dan Kebudayaan (Th. 12, No.2, April 2016): Kemiskinan Dan Intervensi Perspektif Jeffrey D. Sachs, Biro Penelitian Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur
: Obor,
Jakarta, 2023
Wisma Tiga Raja Timika
SANGAT TEPAT SOB FRATER
BalasHapus