Pelanggaran HAM di Papua: Kekerasan TNI/Polri terhadap Warga Sipil di Intan Jaya
Oleh: Yulianus Kebadabi Kadepa
Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Tanah Papua, khususnya di Kabupaten Intan Jaya, adalah sebuah kenyataan pahit yang terus berlangsung di tengah janji-janji keadilan dan persatuan oleh negara Indonesia. Papua, yang dikenal dengan kekayaan alam dan budaya yang luar biasa, justru menjadi tempat di mana kekerasan sistematis terus terjadi terhadap rakyat sipil dan rakyat yang seharusnya menjadi subjek perlindungan negara, bukan objek kekerasan negara.
Masyarakat Sipil sebagai Korban Abadi
Masyarakat Intan Jaya hidup dalam ketakutan setiap hari. Mereka tak ubahnya seperti “tumbal pembangunan” itu menjadi korban dalam konflik bersenjata antara aparat keamanan gabungan TNI-Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB-OPM). Sayangnya, kekerasan oleh aparat negara sering kali tidak ditujukan secara proporsional terhadap kelompok bersenjata, melainkan justru menyasar masyarakat sipil yang tidak bersenjata. Mereka dituduh sebagai bagian dari "separatis", "musuh negara", atau "pendukung kelompok bersenjata", tanpa melalui proses hukum yang adil.
Penembakan tanpa proses hukum, penyiksaan, penganiayaan, intimidasi psikologis, bahkan pengungsian paksa akibat operasi militer adalah kenyataan pahit yang terus dialami warga Papua, khususnya di Intan Jaya. Desa-desa dikosongkan, gereja dijadikan pos militer, anak-anak kehilangan pendidikan, dan masyarakat kehilangan ladang tempat mereka menggantungkan hidup. Dalam situasi ini, kehidupan sipil hancur perlahan. Manusia Papua tidak lagi merasa seperti manusia. Mereka merasa seperti “babi peliharaan” , dibunuh kapan saja jika dianggap tidak patuh.
HAM Dikhianati oleh Negara
Konstitusi Republik Indonesia dengan tegas menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk hidup, hak untuk merasa aman, bebas dari penyiksaan, dan hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum. Namun, di Papua, nilai-nilai luhur itu telah lama dikhianati. Negara yang seharusnya hadir melindungi justru menjadi pelaku kekerasan.
Laporan dari organisasi-organisasi HAM nasional dan internasional seperti KontraS, Amnesty International, dan Komnas HAM telah berulang kali menunjukkan adanya pelanggaran berat oleh aparat keamanan. Namun, hampir semua laporan itu berujung sunyi senyap tanpa pengusutan tuntas, tanpa hukuman terhadap pelaku, dan tanpa pemulihan bagi korban. Hal ini menunjukkan adanya impunitas yang dilegalkan secara tidak langsung oleh negara.
Keadilan Tak Datang dari Dunia, Tapi Dari Surga
Sebagai seorang Kristen Papua, kami percaya bahwa keadilan bukan hanya perkara hukum di bumi, tetapi juga urusan kerajaan surga. Allah, kaluhur adalah Hakim yang Adil. Darah-darah saudara kami yang terbunuh tidak akan diam. Roh mereka akan berseru kepada Tuhan yang menuntut keadilan yang selama ini dibungkam oleh senjata dan politik negara. Kami percaya, pemerintahan surga akan mengadili mereka yang bersalah.
Namun seruan kami kepada surga tidak berarti kami tinggal diam di bumi. Kami bangkit membela tanah kami, hutan kami, dan hidup kami. Perjuangan kami bukan kebencian. Ini adalah panggilan iman dan bahwa kita semua diciptakan untuk hidup dalam damai dan martabat, bukan dalam ketakutan dan kekerasan. Itulah sebabnya kami angkat suara. Itu sebabnya kami tidak bisa lagi diam.
Lebih menyedihkan lagi, penderitaan mereka seringkali luput dari sorotan media nasional. Padahal, setiap tetes darah warga sipil yang tumpah adalah tanggung jawab negara. UUD 1945 dan berbagai instrumen hukum Indonesia menjamin hak hidup, rasa aman, dan kebebasan dari penyiksaan, namun realitas di Intan Jaya menunjukkan bahwa hak-hak ini terinjak oleh kekuatan bersenjata negara sendiri.
Solusi: Reformasi dan Rekonsiliasi
Masalah di Papua bukan hanya soal keamanan. Ini adalah soal kemanusiaan, sejarah, politik, dan identitas. Oleh karena itu, solusi terhadap pelanggaran HAM di Intan Jaya dan wilayah lain di Papua tidak cukup hanya dengan pendekatan militer atau ekonomi. Negara harus melakukan: pertama, Reformasi sektor keamanan, termasuk menghentikan penempatan aparat non-organik di wilayah sipil. Kedua, Mekanisme akuntabilitas yang transparan dan independen, yang menjamin bahwa setiap tindakan kekerasan aparat akan diusut dan diadili secara jujur. Ketiga, Pemulihan terhadap korban, termasuk rehabilitasi fisik, psikologis, dan pengakuan terhadap penderitaan mereka. Keempat, Dialog politik yang inklusif, yang melibatkan rakyat Papua secara sejati, bukan hanya elite yang dipilih negara. Kelima, Pendidikan HAM kepada aparat dan masyarakat, sebagai fondasi dari perubahan pola pikir dan budaya kekerasan.
Saatnya Negara Bertanggung Jawab
Papua bukan tanah kosong. Papua adalah rumah bagi manusia untuk bagi rakyat yang berharga, bermartabat, dan memiliki hak yang sama seperti warga Indonesia lainnya. Setiap peluru yang ditembakkan ke tubuh rakyat Papua adalah peluru yang menembus hati konstitusi itu sendiri.
Sudah saatnya negara menghentikan pola kekerasan dan mulai mendengar jeritan rakyatnya di Papua. Keadilan tidak bisa ditunda terus-menerus. Karena suatu hari nanti, sejarah akan menuntut, dan Tuhan akan mengadili.
Papua bukanlah ladang konflik. Papua adalah rumah bagi manusia, budaya, dan keindahan yang harus dijaga. Hentikan kekerasan. Berikan keadilan.
)* Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur, Abepura-Papua.
Komentar
Posting Komentar