KILIR DAN SIGNIFIKANSI: Refleksi Pendidikan dan Hidup Bersama di Gubuk Wadogouby

 

Di Gubuk Wadogouby 

Oleh: Yulianus Kebadabi kadepa 

Kata kilir secara harfiah berarti angin yang berubah arah secara tiba-tiba. Dalam konteks pembelajaran dan kehidupan bersama di Gubuk Wadogouby, kilir menjadi metafora untuk ketidakkonsistenan dalam arah hidup, prinsip, atau komitmen belajar. Mahasiswa dan pemuda masa kini dihadapkan pada dunia yang serba cepat, penuh distraksi, dan dipenuhi pilihan. Dalam situasi seperti itu, mudah sekali seseorang berubah arah pikiran bukan karena refleksi, tapi karena tekanan sosial, tren sesaat, atau ketidakpastian identitas.

Di Gubuk Wadogouby, kilir menjadi peringatan, jangan menjadi seperti angin yang berubah tanpa arah, tanpa tujuan. Pendidikan bukan sekadar formalitas untuk mendapatkan gelar, tetapi proses yang menuntut kesetiaan pada nilai-nilai, pada komunitas, dan pada pencarian makna. Ketika mahasiswa tidak memiliki pijakan nilai yang kuat, maka orientasi hidup pun menjadi mudah tergelincir ke arah yang tidak konsisten.

Konsistensi dalam belajar dan hidup bersama adalah fondasi. Tanpa itu, semangat belajar akan redup, relasi akan rapuh, dan makna hidup pun menjadi kabur.

Di sisi lain, signifikansi adalah tentang makna, tentang pentingnya suatu proses atau hasil. Dalam dunia akademik, signifikansi sering dihubungkan dengan hasil penelitian: apakah data yang diperoleh benar-benar memiliki makna atau hanya kebetulan belaka. Tapi dalam ruang seperti Gubuk Wadogouby, makna ini ditarik ke dalam kehidupan sehari-hari: Apakah yang kita pelajari setiap hari bermakna? Apakah hidup bersama kita menghasilkan pertumbuhan yang berarti?

Signifikansi dalam konteks ini adalah soal kebermaknaan hidup sebagai pelajar, sebagai anggota komunitas, dan sebagai manusia. Belajar bukan hanya soal menyelesaikan tugas, tetapi soal memahami mengapa kita belajar, untuk siapa kita belajar, dan apa yang ingin kita capai melalui pengetahuan itu.

Gubuk Wadogouby menjadi ruang alternatif yang memberi makna lain pada pendidikan. Tidak melulu tentang nilai akademik, tetapi tentang proses pembentukan diri: membaca untuk mengenal dunia, menulis untuk mengenal pikiran sendiri, dan berdiskusi untuk membentuk pemahaman bersama.

Gagasan-gagasan dan suara dari Gubuk Wadogouby sebagai berikut: 

Hosea Gobai 
Mengajak untuk melihat pendidikan sebagai proses mandiri. Belajar tidak bergantung pada fasilitas yang mewah, tapi pada ketekunan dalam rutinitas harian. Literasi menjadi inti dari proses ini: membaca dan menulis sebagai bentuk pengolahan pengalaman. Dalam pandangannya, mahasiswa bukan hanya penerima ilmu, tetapi pencipta makna. Dengan literasi, kita belajar untuk tidak kilir dalam cara berpikir.

Stepnus Yogi
Mengembangkan gagasan “belajar mandiri yang kaya.” Kekayaan di sini bukan soal materi, tapi tentang keberagaman sumber belajar. Dari kampus, dari rumah, dari tempat seperti Wadogouby, semua menjadi ladang belajar. Pendidikan bukan proses tunggal, tetapi jaringan pengalaman. Dengan demikian, signifikansi belajar tidak ditentukan oleh tempat, tetapi oleh keterbukaan kita untuk belajar dari mana saja.

Yosafat Bunai 
Menegaskan bahwa hidup itu tidak sendiri. “Kita hidup sesuai dengan kebutuhan kita bersama.” Artinya, belajar pun tidak bisa lepas dari konteks sosial. Pendidikan yang bermakna adalah pendidikan yang memperhatikan kebutuhan dan keberadaan orang lain. Di sinilah hidup bersama menjadi semacam kurikulum tak tertulis dalam kita diajak membentuk nilai-nilai solidaritas, saling membantu, dan menyadari bahwa keberhasilan satu orang terkait dengan yang lain.

Seperianus Yogi
Menunjukkan realitas bahwa banyak dari kita mendapat kesempatan pendidikan berkat perjuangan orang tua. Tapi kesempatan itu harus dibalas dengan kesungguhan: belajar banyak, membaca banyak. Tidak cukup hanya hadir secara fisik dalam pendidikan; yang penting adalah keaktifan batin, semangat untuk berkembang, dan kesadaran untuk menghargai setiap detik pembelajaran. Di sinilah signifikansi hadir ketika pendidikan menjadi bentuk tanggung jawab, bukan sekadar hak.

Penegasan Fr. Yulianus Kebadabi kadepa menegaskan bahwa Gubuk Wadogouby: Ruang Tumbuh yang Sederhana tapi Bermakna. Gubuk Wadogouby bukan ruang belajar formal. Ia tidak punya kurikulum baku, tidak ada nilai ujian, tidak ada dosen tetap. Tapi justru di situlah letak kekuatannya. Di ruang sederhana ini, pendidikan dimaknai secara lebih manusiawi. Mahasiswa belajar saling mendengarkan, berbicara dari hati, membaca dengan kesadaran, dan menulis dengan nurani.

Lebih lanjut lagi Kebadabi kadepa menegaskan bahwa, di sinilah kita dilatih untuk tidak mudah kilir untuk bertahan dalam nilai yang diyakini, meski dalam kondisi yang tidak pasti. Dan di sinilah pula kita belajar mengejar signifikansi sebesar bahwa setiap percakapan, setiap tulisan, setiap relasi bisa menjadi berarti, jika dijalani dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab.

Dengan demikian, Di tengah dunia yang terus berubah, pendidikan sering kehilangan makna. Tapi Gubuk Wadogouby memberi pengingat bahwa kita bisa menciptakan ruang pendidikan yang bermakna, yang berakar pada kehidupan bersama dan keberanian untuk berpikir sendiri.

Mari belajar untuk tidak terombang-ambing (kilir) dan terus mencari makna sejati (signifikansi) dalam setiap langkah kita akan di kelas, di rumah, di gubuk kecil tempat kita saling bertumbuh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pastor Yance Wadogouby Yogi Memiliki Imam, Nabi, dan Raja di Jantung Papua yang Berdarah di Intan Jaya

Rencana Tuhan Pasti Indah pada Waktunya

Pater Yance Yogi Memiliki Keberanian