Imago Dei dan Papua: Martabat Manusia dalam Terang Wahyu

 



Oleh: Yulianus Kebadabi kadepa 


Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang memiliki martabat Ilahi. Namun, dalam realitas sosial-politik kita, martabat ini terlalu sering dilukai oleh negara Indonesia. Di Tanah Papua, kita menyaksikan penderitaan yang panjang: kekerasan bersenjata, pelanggaran hak asasi manusia, pengungsian warga sipil, hingga eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam yang tidak berpihak kepada penduduk asli.

Kenyataan ini memunculkan pertanyaan mendasar: Apakah negara Indonesia sungguh melihat orang Papua sebagai sesama manusia, sebagai saudara, sebagai gambar Allah?

Dalam terang iman Kristiani, khususnya ajaran Gereja Katolik, setiap manusia, termasuk orang Papua, adalah imago Dei, citra Allah yang hidup. Oleh karena itu, setiap bentuk kekerasan dan ketidakadilan terhadap mereka bukan hanya kejahatan sosial, tetapi juga dosa terhadap kemanusiaan dan penciptanya.

Imago Dei: Fondasi Martabat Manusia

Ajaran dasar iman Kristen menegaskan bahwa:

"Berfirmanlah Allah: ‘Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita...’" (Kejadian 1:26)

Gereja Katolik tidak memahami ayat ini secara simbolis belaka. Sebaliknya, ia menjadi dasar teologis bahwa setiap manusia memiliki nilai tak tergantikan. Katekismus Gereja Katolik menyatakan:

“Manusia diciptakan menurut gambar Allah: dalam kodratnya sebagai pribadi, yang mampu mengenal dan mengasihi Penciptanya, dan diberi kuasa untuk menguasai bumi.” (KGK 1701)

Artinya, setiap orang asli Papua adalah pribadi yang dikasihi Allah, yang memiliki hak untuk hidup damai, berkembang, dan dihormati tanpa syarat. Namun, yang terjadi di lapangan seringkali berlawanan dengan prinsip ini, bahkan seringkali martabat manusia sebagai ciptaan Allah tidak dihargai oleh negara yang seharusnya melindungi masyarakat Papua.

Luka Papua: Skandal Moral dan Krisis Martabat

Realitas Papua hari ini menunjukkan bahwa martabat sebagai gambar Allah telah diinjak-injak. Berbagai laporan menggambarkan penderitaan masyarakat: pengungsian akibat operasi militer, terbatasnya akses pendidikan dan kesehatan, serta eksploitasi tanah dan hutan adat yang menjadi sumber kehidupan orang asli Papua. Situasi ini bukan semata persoalan politik atau ekonomi, melainkan krisis kemanusiaan yang mendalam.

Gereja tidak boleh tinggal diam, sebab luka Papua adalah luka tubuh Kristus sendiri. Rasul Paulus mengingatkan:

“Jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita...” (1 Korintus 12:26)

Artinya, penderitaan di Papua adalah penderitaan seluruh tubuh Kristus. Banyak manusia terbunuh oleh aparat keamanan gabungan TNI-Polri, hak ulayat tanah Papua terus dieksploitasi, dan seluruh tanah Papua merasakan luka yang sama akibat ketidakadilan ini.

Gaudium et Spes: Panggilan Solidaritas dan Keadilan

Konsili Vatikan II dalam dokumen Gaudium et Spes menegaskan:

“Martabat manusia terletak pada kenyataan bahwa ia diciptakan sebagai citra Allah. Ia dipanggil untuk bersekutu dengan Allah dan menikmati kebahagiaan abadi.” (GS 19)

Dengan demikian, setiap pelanggaran terhadap hak hidup, tanah, dan budaya masyarakat Papua adalah pelanggaran terhadap gambar Allah itu sendiri. Negara Indonesia harus bertobat, mengakui bahwa Papua bukanlah tanah kosong, melainkan tanah yang dihuni oleh pribadi-pribadi bermartabat manusia Papua.

Lebih lanjut, Konsili mengingatkan:

“Setiap bentuk diskriminasi yang tidak adil terhadap hak-hak dasar seseorang, baik itu berdasarkan jenis kelamin, ras, warna kulit, kondisi sosial, bahasa, atau agama, harus diatasi dan dihapuskan, karena hal ini bertentangan dengan rencana Allah.” (GS 29)

Realitas diskriminasi dan kekerasan di Papua bertolak belakang dengan semangat undang-undang negara yang mestinya menjamin keadilan. Jika diskriminasi terus dibiarkan, bangsa ini sedang berjalan melawan rencana keselamatan Allah.

Dei Verbum: Kebenaran yang Membebaskan

Dalam Dei Verbum, Gereja menegaskan bahwa Allah mewahyukan diri-Nya tidak hanya lewat kata-kata, tetapi melalui peristiwa nyata dalam sejarah manusia:

“Melalui pewahyuan ini, kebenaran yang terdalam tentang Allah dan keselamatan manusia menjadi bersinar bagi kita dalam Kristus...” (DV 2)

Kristus adalah kebenaran yang membebaskan. Maka Gereja terpanggil untuk menyuarakan kebenaran yang menyembuhkan luka Papua: membela mereka yang dibungkam, mengangkat suara-suara yang terpinggirkan, dan melawan kejahatan tersembunyi dalam bayang-bayang sistem. Orang Papua tetap teguh memperjuangkan hak ulayat dan hak hidup di tanahnya sendiri.

Imago Dei dan Misi Kenabian Gereja

Jika setiap manusia adalah citra Allah, maka:

Yang pertama, Setiap pembunuhan terhadap orang Papua adalah penghinaan terhadap gambar Allah.

Yang kedua, Setiap perampasan tanah adat adalah perampasan martabat komunitas yang Allah ciptakan.

Yang ketiga, Setiap pembungkaman suara keadilan adalah pengingkaran terhadap Roh Kudus yang terus berseru dalam hati nurani umat.

Katekismus mengingatkan:

“Karena ia diciptakan menurut gambar Allah dan oleh kasih karunia dipanggil kepada kebahagiaan ilahi.” (KGK 1712)

Maka Gereja, sebagai tubuh Kristus, tidak bisa netral. Gereja harus berdiri tegak sebagai suara kenabian yang menjadi tanda dan sarana keselamatan, termasuk dalam membangun perdamaian, memperjuangkan kebenaran, dan mendampingi mereka yang menderita. Ini adalah bagian dari missio Dei, misi Allah yang ingin membarui seluruh ciptaan-Nya.

Papua, Tubuh Kristus yang Menderita

Imago Dei bukanlah konsep abstrak. Ia adalah dasar konkret bagi tindakan moral dan sosial. Papua bukan wilayah pinggiran dalam peta iman. Ia adalah bagian dari tubuh Kristus yang menderita, dan siapa yang mencintai Kristus tidak mungkin menutup mata terhadap penderitaannya.

Gereja dan seluruh umat manusia dipanggil untuk: Menyuarakan penderitaan rakyat Papua dengan jujur dan berani, Mendampingi mereka dalam jalan panjang menuju rekonsiliasi dan keadilan, Mengupayakan pemulihan hak-hak dasar mereka sebagai sesama gambar Allah.

“Keadilan akan tumbuh dari padang gurun, dan damai sejahtera akan menjadi buahnya.” (Mzm 85:11)

Saatnya berdiri bersama negara Indonesia dan orang Papua, karena dalam setiap wajah orang Papua, kita melihat wajah Kristus yang disalibkan.

Mari kita mulai dialog sebagai sesama manusia yang berasal dari Allah. Jalan satu-satunya untuk menyesuaikan persoalan Papua adalah dialog

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pastor Yance Wadogouby Yogi Memiliki Imam, Nabi, dan Raja di Jantung Papua yang Berdarah di Intan Jaya

Rencana Tuhan Pasti Indah pada Waktunya

Pater Yance Yogi Memiliki Keberanian