HIDUP DAMAI KETIKA MANUSIA BERDAMAI DENGAN ALAM CIPTAAN

 


Oleh: Martinus Hakomalah Gobai

Kedamaian adalah dambaan setiap manusia, tetapi seringkali dipahami hanya sebagai hubungan harmonis antarsesama manusia atau antara individu dan Tuhan. Namun, satu aspek penting yang sering terabaikan adalah hubungan damai antara manusia dan alam ciptaan. Padahal, manusia tidak hidup dalam ruang kosong ia adalah bagian dari sebuah ekosistem besar yang melibatkan tanah, air, udara, hewan, dan tumbuhan. Ketika hubungan manusia dengan alam terganggu, maka kedamaian sejati juga terguncang. Maka, hidup damai sejati hanya mungkin terwujud jika manusia mampu berdamai dengan alam ciptaan Tuhan.

Dalam tradisi teologis Kristen, alam bukanlah sekadar benda mati atau sumber daya ekonomi. Alam adalah bagian dari ciptaan Allah yang dinyatakan "sungguh amat baik" (Kejadian 1:31). Allah mempercayakan alam kepada manusia bukan untuk dieksploitasi secara egois, melainkan untuk "mengusahakan dan memeliharanya" (Kejadian 2:15). Konsep ini mencerminkan panggilan manusia sebagai pelayan (steward) dan bukan penguasa absolut atas bumi. Ketika manusia gagal menjalankan peran ini dengan menebang hutan sembarangan, mencemari sungai, mengusur gunung, bukit, atau laut, membuang sampah sembarangan maka ia merusak harmoni ciptaan dan melanggar perjanjian damai dengan Tuhan dan alam.

Krisis lingkungan hidup seperti perubahan iklim, bencana alam yang meningkat, punahnya spesies, dan kelangkaan air bersih merupakan gejala konkret dari rusaknya relasi manusia dengan alam. Ketidakpedulian dan kerakusan manusia menjadi penyebab utama. Polusi, pembakaran hutan, penambangan yang tak beretika, dan konsumsi yang berlebihan menggambarkan gaya hidup yang tidak damai. Dalam konteks ini, seruan untuk "berdamai dengan alam" bukan hanya tindakan moral, melainkan tuntutan spiritual dan eksistensial. Kita harus menyadari bahwa kerusakan alam pada akhirnya akan mengancam kelangsungan hidup manusia itu sendiri.

Filsafat ekologi mengajak kita untuk melihat alam bukan sebagai objek, tetapi sebagai subjek relasional. Tokoh seperti Arne Naess mengusulkan deep ecology, yaitu pandangan bahwa seluruh makhluk hidup memiliki nilai intrinsik, bukan hanya nilai guna bagi manusia. Dalam pendekatan ini, berdamai dengan alam berarti menghormati kehidupan dalam segala bentuknya dan menempatkan manusia sejajar dengan makhluk lain dalam ekosistem. Dalam perspektif ini, etika lingkungan berkembang menjadi panggilan moral untuk menjalani hidup yang berkelanjutan dan adil, tidak hanya bagi manusia masa kini tetapi juga bagi generasi mendatang. Ini menuntut perubahan pola pikir dari eksploitatif ke partisipatif dan dari konsumtif ke kontemplatif.

Gereja dan banyak komunitas iman telah menyerukan pentingnya spiritualitas ekologis sebuah cara hidup yang menyatu dengan ciptaan. Ensiklik Laudato Si’ dari Paus Fransiskus menekankan bahwa krisis ekologis adalah juga krisis spiritual dan moral. Maka, doa, puasa, dan aksi nyata menjadi cara untuk menyembuhkan luka bumi. Spiritualitas ekologis mengajarkan bahwa keheningan, syukur atas ciptaan, serta pola hidup sederhana adalah jalan menuju kedamaian. Ketika kita menanam pohon, menjaga air, dan memilah sampah, itu bukan sekadar kegiatan praktis, tetapi juga tindakan spiritual yang memulihkan hubungan yang rusak antara manusia dan bumi.

Hidup yang selaras dengan alam membawa dampak sosial yang luas. Komunitas yang menjaga lingkungan biasanya juga memiliki hubungan sosial yang lebih harmonis, rasa kebersamaan yang kuat, dan pola hidup yang sehat. Ketika hutan dijaga, sumber air tetap bersih, dan hasil bumi melimpah. Sebaliknya, ketika alam dirusak, masyarakat miskinlah yang pertama menderita akibat banjir, longsor, dan kekeringan tanah. Keadilan ekologis menjadi bagian dari keadilan sosial. Maka, berdamai dengan alam juga berarti memperjuangkan hak masyarakat adat, petani kecil, dan kaum marginal yang sering menjadi korban kerakusan industri besar.

Hidup damai bukan hanya tentang kedamaian batin atau sosial, tetapi juga tentang perdamaian ekologis. Manusia adalah bagian dari alam, dan jika ia ingin hidup dalam damai, maka ia harus hidup selaras dengan ciptaan. Dalam perspektif teologi dan filsafat, berdamai dengan alam berarti menjalani hidup yang bertanggung jawab, penuh hormat terhadap semua makhluk, dan menyadari bahwa bumi adalah rumah bersama. Kini saatnya kita bertobat dari pola hidup yang merusak dan kembali kepada spiritualitas yang menghormati alam. Sebab kedamaian sejati akan lahir ketika manusia berdamai, tidak hanya dengan sesama dan dengan Tuhan, tetapi juga dengan ciptaan-Nya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pastor Yance Wadogouby Yogi Memiliki Imam, Nabi, dan Raja di Jantung Papua yang Berdarah di Intan Jaya

Rencana Tuhan Pasti Indah pada Waktunya

Pater Yance Yogi Memiliki Keberanian