Dosa Struktural dalam Pelanggaran HAM di Intan Jaya
(Sebuah Tinjauan Teologis Kontekstual Papua)
Oleh: Martinus Hakomalah Gobai
Pendahuluan
Tanah Papua, yang kaya akan sumber daya alam dan keindahan alamnya, justru menjadi tempat luka dan penderitaan yang dalam bagi masyarakatnya sendiri, khususnya orang asli Papua (OAP). Salah satu wilayah yang menanggung luka kemanusiaan ini adalah Kabupaten Intan Jaya. Dalam beberapa tahun, bulan, minggu, hari terakhir ini, laporan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang melibatkan aktor negara semakin meningkat. Pelanggaran tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan bagian dari apa yang dalam teologi pembebasan disebut sebagai dosa struktural suatu bentuk kejahatan yang bukan hanya dilakukan oleh individu, tetapi dipelihara oleh sistem dan struktur sosial-politik yang menindas.
Dalam tulisan ini akan menelaah pelanggaran HAM berat di Intan Jaya melalui lensa teologi kontekstual Papua, khususnya dalam bingkai dosa struktural. Dengan mengacu pada pemikiran teolog seperti Gustavo Gutiérrez, serta refleksi lokal dari konteks gereja-gereja di Papua, artikel ini ingin membuka kesadaran kritis atas realitas ketidakadilan sistemik yang dialami oleh masyarakat Papua sebagai bagian dari perjuangan kemanusiaan dan iman yang membebaskan.
Intan Jaya dan Jejak Kekerasan: Fakta Pelanggaran HAM
Intan Jaya menjadi sorotan nasional sejak 2020 karena berbagai kasus kekerasan yang melibatkan aparat keamanan dan kelompok bersenjata. Menurut laporan Amnesty International dan KontraS, kasus-kasus seperti penembakan terhadap warga sipil, pengungsian massal, intimidasi terhadap tokoh agama, hingga pembunuhan terhadap pendeta Yeremia Zanambani pada September 2020 menjadi titik puncak penderitaan masyarakat sampai saat ini, (2020:20-60) Dalam kerangka hak asasi manusia, tindakan ini masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat karena melibatkan pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killings), pemindahan paksa, serta tindakan yang mengabaikan prinsip non-diskriminasi dan penghormatan terhadap martabat manusia (lihat: Komnas HAM, 2021: 50-120). Namun, persoalan ini tidak selesai hanya dengan pendekatan hukum. Dibalik kekerasan tersebut terdapat struktur kekuasaan, kepentingan ekonomi, dan militerisasi yang membentuk jaringan dosa struktural yang lebih dalam.
Dosa Struktural: Konsep dan Relevansi di Tanah Papua
Dalam pemikiran teologi pembebasan, dosa struktural merujuk pada kondisi sosial yang menciptakan dan melanggengkan ketidakadilan. Gustavo Gutiérrez, dalam bukunya A Theology of Liberation (1973: 1-20, 20-40), menyatakan dosa tidak hanya bersifat personal, tetapi juga sosial dan institusional. Ketika sistem politik, ekonomi, dan militer dipakai untuk menindas sekelompok orang, maka yang berdosa bukan hanya individu, tetapi sistem itu sendiri. Di Papua, sistem kekuasaan negara seringkali menjadi alat represi. Pendekatan keamanan yang ditempuh negara dalam menyikapi ketegangan politik dan sosial di Papua justru menciptakan ketakutan dan pengungsian. Militerisasi menjadi wajah kekuasaan negara yang hadir bukan untuk melindungi, tetapi menakuti. Sebagaimana dicatat oleh teolog Indonesia Franz Magnis-Suseno dalam bukunya Etika Politik (2001: 14-15,151), struktur kekuasaan yang menindas rakyat kecil dan tidak berpihak kepada keadilan sosial dapat dianggap sebagai bentuk ketidakmoralitas publik.
Gereja, Teologi Kontekstual Papua, dan Perlawanan Damai
Gereja-gereja di Papua, terutama melalui wadah seperti PGGP (Persekutuan Gereja-Gereja di Papua), telah lama menyerukan bahwa situasi kekerasan di Tanah Papua bukan hanya pelanggaran HAM, tetapi juga krisis moral dan spiritual. Dalam teologi kontekstual Papua, penderitaan orang asli Papua dilihat sebagai penderitaan Kristus yang terus berlangsung di tengah masyarakat yang tertindas. Intan Jaya adalah “Golgota” modern, tempat tubuh-tubuh orang tidak berdosa digantung dan dibungkam, (2021: 1-20, 50).
Menurut Benny Giay, teolog Papua, gereja harus mengambil posisi profetik: “berpihak kepada korban, melawan ketidakadilan, dan menyuarakan damai yang berakar pada kebenaran.” Dalam konteks ini, perlawanan terhadap dosa struktural bukan dengan kekerasan, tetapi dengan kesaksian iman yang membebaskan, pendidikan politik umat, dan advokasi hak asasi manusia (200: 2-3,10-50) Teologi kontekstual Papua menolak teologi yang netral. Karena dalam situasi ketidakadilan, netralitas berarti berpihak pada penindas. Maka, gereja dipanggil bukan untuk berdiri di tengah, tetapi berdiri di sisi korban.
Harapan dan Jalan Pembebasan
Menghapus dosa struktural di Papua, khususnya di Intan Jaya, bukan pekerjaan sehari. Tetapi pengakuan bahwa kejahatan ini bersifat struktural adalah langkah awal menuju pembebasan. Negara harus mengubah pendekatannya dari militeristik menjadi humanistik. Pemerintah pusat perlu mengedepankan dialog, bukan operasi keamanan. Selain itu, pendidikan HAM, rekonsiliasi yang bermartabat, serta pemberdayaan masyarakat lokal harus menjadi prioritas. Dalam terang Injil, pembebasan bukan hanya tentang keselamatan spiritual, tetapi juga tentang keadilan sosial di bumi. Sebagaimana Yesus berdiri bersama orang miskin, terpinggirkan, dan tertindas, demikian pula gereja dan masyarakat Indonesia harus berdiri bersama Papua, bukan sekadar demi solidaritas, tetapi karena iman kepada Allah yang membebaskan.
Kesimpulan
Pelanggaran HAM berat di Intan Jaya adalah wajah nyata dari dosa struktural yang menghancurkan martabat manusia Papua. Ketika kekuasaan dipakai untuk menindas, ketika sistem hukum gagal melindungi yang lemah, dan ketika kekerasan dibenarkan atas nama keamanan, maka di sanalah dosa struktural bekerja. Teologi kontekstual Papua memanggil setiap orang beriman untuk menyuarakan kebenaran dan melawan dosa ini. Gereja, akademisi, dan masyarakat luas harus terus menjadi suara kenabian yang tidak hanya mengutuk kekerasan, tetapi juga memperjuangkan tatanan yang adil, damai, dan manusiawi.
Daftar Pustaka
Gutiérrez, Gustavo. 1973. A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation. Orbis Books,
Magnis-Suseno, Franz. 2001. Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Gramedia,
Giay, Benny. 2000. Menuju Papua Baru: Beberapa Pokok Pikiran Sekitar Emansipasi Orang Papua. Deiyai Press,
Komnas HAM. 2021. Laporan Tahunan tentang Pelanggaran HAM di Papua,
Amnesty International Indonesia. 2020. “Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati”: Pelanggaran HAM oleh Aparat Keamanan di Papua,
PGGP Papua. 2021. Suara Kenabian Gereja-gereja di Papua dalam Menyikapi Krisis Kemanusiaan.
Komentar
Posting Komentar