Almarhum Pater Neles Kebadabi Tebai: "Mari Kitorang Bicara Dulu"

 


Oleh: Yulianus Kebadabi kadepa 

Ungkapan “Mari kitorang duduk bicara dulu” yang sering disampaikan oleh almarhum Pater Neles Kebadabi Tebai menjadi seruan moral yang penting dalam konteks Papua. Frasa sederhana namun penuh makna ini merupakan ajakan untuk membuka ruang dialog yang terbuka, inklusif, dan saling menghargai antara pemerintah pusat dan masyarakat Papua. Dalam situasi sosial-politik Papua yang sarat dengan sejarah konflik, perjuangan identitas, serta ketimpangan dan ketidakadilan, ajakan ini menjadi langkah awal menuju perdamaian dan pemahaman bersama.

Sejarah Papua dan Proses Integrasi ke Indonesia

Papua memiliki latar belakang sejarah yang berbeda dibandingkan banyak wilayah lain di Indonesia. Sebagai wilayah bekas jajahan Belanda, Papua mengalami proses integrasi ke dalam NKRI melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969, yang hingga kini masih menjadi sumber kontroversi dan perdebatan.

Menurut J. Mackay dalam The History of Papua and Its People (Jakarta: Merpati Press, 2007: 50-75), pelaksanaan Pepera berlangsung dalam pengawasan militer dan atmosfer tekanan, yang menyebabkan banyak pihak mempertanyakan legitimasi hasilnya. Ketidakpuasan terhadap proses ini menjadi pemicu konflik yang terus berlangsung hingga hari ini, termasuk perlawanan terhadap dominasi pusat dan tuntutan penentuan nasib sendiri.

Neles Kebadabi Tebai dan Peran Dialogisnya

Almarhum Pater Neles Kebadabi Tebai dikenal luas sebagai tokoh Papua yang mengedepankan pendekatan damai dan dialogis dalam menyikapi konflik Papua. Ia menolak kekerasan sebagai jalan penyelesaian dan menyerukan pentingnya komunikasi terbuka antara pemerintah dan masyarakat Papua.

Dalam buku Papua dalam Dialog: Wacana dan Realitas karya Johan S. Kambuaya (Jayapura: Balai Pustaka Papua, 2014: 110-135), Neles digambarkan sebagai figur yang mampu menjembatani dua pihak yang sering berada di kutub berlawanan dengan negara dan rakyat Papua. Ia memperjuangkan pendekatan damai terhadap masalah seperti konflik bersenjata, eksploitasi tanah adat, dan marginalisasi masyarakat Papua dalam struktur kekuasaan negara.

Makna dan Nilai dari Ungkapan “Mari Kitorang Duduk Bicara Dulu”

Ungkapan ini bukan sekadar ajakan retoris, tetapi mengandung nilai-nilai luhur tentang kesetaraan, musyawarah, dan penyelesaian damai. Kata “kitorang” (kita bersama) menegaskan bahwa solusi atas konflik Papua bukan hanya tanggung jawab satu pihak, melainkan harus dibangun bersama, dalam semangat saling mendengarkan dan menghargai.

Teuku Mohamad Rifa’i dalam Dialog dan Penyelesaian Konflik di Indonesia Timur (Yogyakarta: Pustaka Harmoni, 2016: 85-95) menyatakan bahwa dialog inklusif yang melibatkan semua elemen baik negara maupun masyarakat sipil dan merupakan kunci utama dalam meredakan konflik di wilayah yang memiliki keragaman budaya dan sejarah seperti Papua.

Tantangan Sosial-Politik Papua Saat Ini

Hingga kini, Papua masih menghadapi tantangan berat: ketimpangan pembangunan, pelanggaran hak asasi manusia, eksploitasi sumber daya alam, dan konflik politik yang belum terselesaikan. Dalam konteks ini, dialog menjadi bukan hanya pilihan, tetapi keharusan.

Menurut D. Rambe dalam Papua dalam Perspektif Politik Kontemporer (Bandung: LP3ES, 2020: 100-145), pembangunan perdamaian yang berkelanjutan hanya mungkin terwujud jika komunikasi dibangun secara terus-menerus, dengan melibatkan masyarakat Papua sebagai subjek aktif dalam proses perumusan kebijakan.

Harapan dan Jalan Menuju Perdamaian

Seruan “Mari kitorang duduk bicara dulu” adalah harapan agar pintu-pintu dialog benar-benar dibuka, bukan hanya secara simbolik, tetapi melalui proses nyata yang berakar pada niat tulus untuk mendengarkan, memahami, dan bekerja sama. Seruan ini juga mengajak masyarakat Papua untuk terus memperjuangkan aspirasi mereka melalui jalan damai dan bermartabat.

M. Simanjuntak dalam Peacebuilding in Papua: Paths and Challenges (Jakarta: PT Media Nusantara, 2021: 48-80) menekankan bahwa dialog inklusif dan berkelanjutan adalah fondasi utama menuju perdamaian sejati. Papua membutuhkan komitmen jangka panjang dari semua pihak untuk pemerintah, gereja, tokoh adat, kaum muda, dan masyarakat sipil.


Dengan demikian, melalui ungkapan sederhana namun sarat makna “Mari kitorang duduk bicara dulu,” Pater Neles Kebadabi Tebai telah mewariskan prinsip penting dalam menyelesaikan persoalan Papua: dialog sebagai jalan utama menuju keadilan dan perdamaian. Dengan memahami sejarah, menghargai budaya lokal, dan mengakui realitas sosial-politik Papua hari ini, kita dapat membuka jalan menuju penyelesaian yang adil dan bermartabat.


Sumber buku 

Mackay, J. (2007). The History of Papua and its People. Jakarta: Merpati Press.

Kambuaya, J. S. (2014). Papua dalam Dialog: Wacana dan Realitas. Jayapura: Balai Pustaka Papua.

Rifa’i, T. M. (2016). Dialog dan Penyelesaian Konflik di Indonesia Timur. Yogyakarta: Pustaka Harmoni.

Rambe, D. (2020). Papua dalam Perspektif Politik Kontemporer. Bandung: LP3ES.

Simanjuntak, M. (2021). Peacebuilding in Papua: Paths and Challenges. Jakarta: PT Media Nusantara.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pastor Yance Wadogouby Yogi Memiliki Imam, Nabi, dan Raja di Jantung Papua yang Berdarah di Intan Jaya

Rencana Tuhan Pasti Indah pada Waktunya

Pater Yance Yogi Memiliki Keberanian