Teologi Pembebasan untuk Keadilan di Papua Berdasarkan Pemikiran Gustavo Gutiérrez
Ketidakadilan Struktural dan Jeritan Masyarakat Papua Hari Ini
Oleh: Yulianus Kebadabi Kadepa
Papua saat ini masih menjadi salah satu wilayah di Indonesia yang mengalami ketimpangan pembangunan, pelanggaran hak asasi manusia, serta eksploitasi sumber daya alam secara masif. Masyarakat adat Papua menghadapi berbagai bentuk ketidakadilan: tanah mereka dirampas atas nama investasi, suara mereka dibungkam oleh sistem kekuasaan, dan hak-hak dasar mereka seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan tidak terpenuhi secara layak. Realitas ini menciptakan luka kolektif yang mendalam dan berlangsung turun-temurun.
Dari realitas ini, muncul pertanyaan mendalam: bagaimana gereja dan umat Kristen merespon penderitaan yang nyaring terdengar namun sering diredam? Teologi pembebasan, khususnya yang dirumuskan oleh Gustavo Gutiérrez, dapat menjadi fondasi moral dan spiritual yang kokoh untuk memahami penderitaan masyarakat Papua serta menggerakkan gereja agar berpihak secara aktif pada mereka yang tertindas.
Dalam bukunya Teologi Gustavo Gutierrez yang, Berjudul Refleksi Dasar Praksis Kaum Miskin, bagian pengantar oleh J. B Banawaratma Sj hal. 9-11 menjelaskan teologi pembebasan tidak lahir dari ruang kosong, melainkan dari tangisan kaum miskin di Amerika Latin. Gustavo Gutiérrez, sebagai pelopor gerakan ini, merumuskan teologi bukan semata-mata sebagai refleksi atas firman Tuhan, tetapi juga sebagai tanggapan iman terhadap ketidakadilan struktural yang menindas manusia. Ia menegaskan bahwa “untuk mengenal Allah, kita harus berpihak pada kaum miskin.”
Dalam konteks Papua, ketimpangan yang terjadi bukan hanya masalah politik dan ekonomi, tetapi juga masalah moral dan spiritual. Banyak masyarakat Papua hidup dalam kemiskinan, diabaikan dalam pengambilan keputusan politik, dan mengalami trauma kolektif akibat kekerasan yang berlangsung bertahun-tahun. Ketimpangan ini tidak bisa hanya disikapi dengan belas kasihan; ia harus dihadapi dengan keberpihakan yang konkret.
Gutiérrez mengajarkan bahwa kaum miskin bukan objek bantuan, tetapi subjek sejarah yang harus diberdayakan. Mereka bukan penerima pasif belas kasih, tetapi aktor aktif dalam transformasi sosial. Maka gereja di Papua, dan gereja di Indonesia secara umum, tidak cukup hanya mengadakan pelayanan sosial dan gereja harus terlibat dalam perubahan struktur yang menindas masyarakat adat Papua
Menghadirkan Iman yang Membebaskan di Tengah Ketertindasan Papua. Teologi pembebasan tidak lahir dari ruang steril, tetapi dari rahim penderitaan. Dalam bukanya A Theology of Liberation, Gutiérrez: History, Politics, and Salvation. Maryknoll, NY: Orbis Books, 1973. Menegaskan bahwa iman Kristen harus berpihak kepada kaum miskin dan tertindas tidak dalam bentuk belas kasihan paternalistik, tetapi dalam solidaritas yang radikal. Dalam konteks Papua, teologi pembebasan menuntut gereja untuk hadir secara aktif mendampingi rakyat Papua yang mengalami marginalisasi struktural.
Gutiérrez menyatakan bahwa teologi harus berakar pada “praksis iman” itu yakni tindakan nyata berdasarkan refleksi mendalam dari pengalaman penderitaan dan perjuangan rakyat. Praksis ini tidak sekadar aksi sosial, tetapi sebuah bentuk kesaksian iman bahwa Tuhan berpihak kepada mereka yang dilukai oleh sistem ketidakadilan.
Dalam refleksi praksis teologi pembebasan, masyarakat miskin dan tertindas bukan hanya objek belas kasih, melainkan subjek sejarah. Mereka memiliki suara, identitas, dan hak untuk menentukan masa depan mereka sendiri. Di Papua, praksis teologi pembebasan harus diterjemahkan dalam: Advokasi hak tanah ulayat dan lingkungan hidup masyarakat adat, Pendidikan kontekstual berbasis nilai-nilai dan budaya lokal Papua, Liturgi yang menyuarakan keadilan, bukan hanya ritual kosong, Pelayanan kesehatan berbasis komunitas untuk menjangkau wilayah terpinggirkan, dan Dialog kritis dengan negara tentang pelanggaran HAM dan pembangunan yang eksploitatif.
Gereja harus keluar dari zona nyaman institusional dan terlibat langsung dalam gerakan sosial yang memperjuangkan martabat manusia Papua.
Isi Buku Gutiérrez yang Relevan untuk Konteks Papua. Dalam A Theology of Liberation, Gutiérrez menyampaikan beberapa poin utama yang sangat relevan untuk konteks Papua saat ini:
Pertama, Pembebasan adalah dimensi integral keselamatan. Tidak bisa ada keselamatan yang sejati tanpa keadilan sosial di bumi (hal. 104–120).
Kedua, Kemiskinan adalah hasil dari struktur dosa, bukan sekadar nasib atau takdir ilahi (hal. 82–95).
Ketiga, Gereja dipanggil untuk menjadi suara kenabian, bukan pelayan kekuasaan. Ia harus berdiri bersama yang tertindas, bukan mendiamkan kekerasan demi harmoni palsu (hal. 196–210).
Papua, sebagai ruang penderitaan dan ketidakadilan, memerlukan penerapan nyata dari prinsip-prinsip ini.
Dengan demikian, Gustavo Gutiérrez mengajarkan bahwa iman Kristen yang sejati adalah iman yang membebaskan. Di Papua, di mana luka sosial dan ketidakadilan masih berlangsung, gereja dan umat Kristen dipanggil untuk tidak tinggal diam. Gereja harus menjadi tempat perlindungan dan penguatan masyarakat adat, menjadi ruang harapan di tengah luka, dan menjadi saksi Kristus yang hadir dalam penderitaan umat-Nya.
Papua tidak butuh lagi janji. Papua butuh keadilan. Dan gereja yang berpijak pada teologi pembebasan memiliki peran strategis untuk menghadirkan keadilan itu adalah bukan hanya di altar, tapi di tanah dan hutan, di kampung dan pasar, di ruang diskusi publik hingga ruang kebijakan politik.
Teologi Gustavo Gutiérrez mengajak kita untuk memahami bahwa iman tanpa tindakan pembebasan hanyalah suara kosong. Maka saatnya gereja Papua dan Indonesia memperbarui panggilan kenabiannya: menjadi suara bagi yang bisu, kaki bagi yang lumpuh, dan pelita bagi yang dalam gelap.
Teologi pembebasan bukan hanya wacana teologis yang ia adalah panggilan untuk bertindak, demi menciptakan Papua yang adil, damai, dan manusiawi.
Daftar Pustaka
Gutiérrez, Gustavo. 1973. A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation. Maryknoll, NY:
Chen Martin. 2002. Teologi Gustavo Gutierrez, Refleksi dari Praksis Kaum Miskin, Yogyakarta: Kanisius
Komentar
Posting Komentar