Agustinus kadepa
Oleh: Yulianus Kebadabi Kadepa
Di balik aroma kopi yang harum, tersimpan cerita tentang pengabdian. Bukan hanya pada secangkir kenikmatan, tapi juga pada tanah, alam, dan masa depan generasi bangsa. Agustinus Kadepa adalah seorang sarjana pendidikan, guru di sekolah dasar pelosok desa, sekaligus petani kopi yang setiap hari bergumul dengan tanah, embun pagi, dan harapan yang tumbuh dari biji kecil yang ditanam dengan cinta.
Banyak yang bertanya, "Mengapa setelah lulus kuliah memilih kembali ke desa? Mengapa memilih jadi guru biasa dan bertani kopi, padahal bisa mengejar karier di kota?" Jawaban atas pertanyaan ini, Agustinus kadepa memilih hidup sederhana: karena ia percaya pengabdian tak harus megah, dan perubahan bisa dimulai dari akar rumput. Menjadi guru dan petani kopi adalah pilihan hidup yang mengajarkan ia arti sejati dari kebermanfaatan dan keseimbangan.
Menanam Ilmu, Menanam Kopi
Di kelas, agustinus kadepa menanamkan ilmu dan nilai-nilai kehidupan. Di kebun, ia menanam pohon kopi yang akan tumbuh menjadi sumber penghidupan jangka panjang. Keduanya membutuhkan hal yang sama: kesabaran, ketelatenan, dan cinta yang konsisten.
Kopi tidak bisa dipaksakan untuk tumbuh cepat. Ia harus diberi ruang, waktu, dan nutrisi yang tepat. Ia belajar bersama-sama dengan murid-muridnya bahwa proses alamiah tidak bisa dilangkahi. Maka, saat ia mendidik, ia tidak terburu-buru mengukur keberhasilan dari nilai ujian, tetapi dari perubahan sikap dan semangat belajar anak-anak.
Agustinus kadepa melihat sendiri, betapa pendidikan di desa sangat erat kaitannya dengan alam. Maka ia mulai mengajak siswa untuk belajar dari lingkungan sekitar. Kami belajar biologi dengan mengamati pohon kopi. Kami belajar ekonomi dari proses jual beli hasil panen. Kami belajar gotong royong dengan memetik bersama saat panen tiba. Inilah pendidikan kontekstual yang hidup dan membumi.
Mendidik Bangsa Lewat Jalan Sunyi
Bagi Agustinus kadepa, menjadi guru di desa adalah bentuk patriotisme. Di tengah keterbatasan, ia melihat semangat anak-anak yang masih menyala untuk belajar, meskipun fasilitas sangat minim. Tidak ada internet cepat, tidak ada laboratorium, bahkan buku pelajaran pun terbatas. Namun dari keterbatasan itulah muncul kreativitas.
Dan di sela-sela waktu, ia kembali ke kebun. Di sanalah ia merenung, mengambil pelajaran dari alam: bahwa kehidupan perlu dirawat, dan hasil tak pernah mengkhianati usaha. Menjadi petani kopi bukan pekerjaan rendahan itu pekerjaan mulia, menjaga keseimbangan alam sekaligus warisan budaya.
Menjaga Alam, Menjaga Masa Depan
Kebun kopi bukan sekadar ladang penghasilan. Ia adalah ekosistem yang harus dijaga. Ia mulai mengajarkan murid-murid tentang pentingnya menjaga hutan, menanam pohon pelindung, tidak membakar lahan, dan menggunakan pupuk organik. Karena pendidikan bukan hanya soal angka dan teori, tapi soal kesadaran hidup berdampingan dengan alam.
Agustinus kadepa percaya, masa depan bangsa tidak hanya dibentuk oleh kecerdasan, tapi juga oleh kesadaran ekologis. Itulah sebabnya, menjadi guru petani kopi adalah cara ia berkontribusi menjaga alam sambil mendidik anak bangsa.
Dengan demikian, jangan malu menjadi petani. Jangan ragu menjadi guru. Dua profesi ini adalah tiang penyangga masa depan bangsa. Mengajar bukan sekadar mentransfer ilmu, tetapi menanamkan nilai dan memberi arah hidup. Bertani bukan sekadar mencari nafkah, tetapi menjaga bumi agar tetap lestari. Jika ingin melihat perubahan besar, mulailah dari ladang kecil dan ruang kelas sederhana. Bangsa ini butuh lebih banyak guru yang mencintai tanahnya dan petani yang mencintai ilmunya. Kopi yang harum berasal dari proses panjang. Begitu juga dengan anak-anak yang kita didik hari ini. Mereka adalah masa depan yang sedang kita semai. Agustinus kadepa adalah guru. Ia juga petani kopi. Dengan dua tangan ini, ia menanam harapan: satu di tanah, satu di hati generasi penerus bangsa. Karena mendidik dan menjaga alam adalah dua bentuk cinta tertinggi untuk negeri ini.
|
Komentar
Posting Komentar