Mencicipi Keringat Orang Tua


Kerja untuk hidup dan hidup untuk kerja 




*Yulianus Kebadabi Kadepa


169 tahun yang lalu dia orang asing dari negeri Jerman menyanggupi panggilan Tuhan untuk berlayar ke “Timur”, suatu tempat baru di mana penghuninya saat itu masih hidup dalam kesahajaan semesta yang elok. Kedua orang asing ini adalah Otto dan Geissler, dua misionaris zending yang pertama kali injakan kaki di pulau mansinam pada 5 Februari 1855.

Banyak orang punya kebiasaannya sendiri-sendiri dalam mempringati hari raya ini. Ada yang buat doa bersama dan drama sekedar bernostalgia ke masa lalu, ada juga yang mengunjungi monumen bersejarah di pulau Mansinam untuk menghirup kembali daya injili yang di bawah oleh Otto Geissler, dan masih banyak lagi rupawan kegiatan yang bisa kita jumpai.

Saya sendiri hari ini memutuskan untuk “mencicipi keringat kedua orangtuaku” di kampung, yaitu pergi ke kebun untuk memanen hasil, membuka lahan baru dan menanam sayur serta beberapa umbian.
Hari ini ketika fajar timur merekah di persada bukit Yakonde, mata ini terfokus menatap embun yang selalu rajin membangun penghuni gunung Cyclop, ada terbesit komitmen untuk pergi mengunjungi kerajaan kehidupan yang ku dirikan sendiri di balik reruntuhan beberapa bangunan peninggalan para misionaris katolik.

Saya mengajak seorang kakak untuk bersama-sama pergi ke kebun sejenak untuk kembali mengingat kenangan masa doloe, saat tubuh ini masih terpaut erat dengan sosok wanita hebat yang berjasa mulai dalam hidupku, ya, dialah sang ibu.
Pagi ini kami mulai membagi tugas, bagian saya adalah memanen beberapa petatas dan menanam petatas yang baru, sementara Kaka saya mendapatkan tugas untuk membuka beberapa ruas lahan baru, setelah menanami lahan tersebut dengan sayur dan umbi-umbian. Karena dia jarang bekerja, dia terlihat sangat kelelahan, sesekali dia berhenti untuk menghela nafas, hari pasti akan menjadi pengalaman yang berbeda.
Dalam proses mengolah tanah ini saya teringat dengan dua sosok yang punya jasa luhur dalam kehidupan saya, ya merekalah kedua orangtua tercintaku, dua jiwa manusia yang menjadi tumpuan harapan di kala iklim suka duka datang menghampiriku.

Dari kedua orang itu saya senantiasa diajarkan untuk menjadi manusia yang benar-benar manusia, manusia sejati. Didikan mereka masih membekas dalam kalbu yang rapuh ini. Nasehat-nasehat brilian mereka senantiasa menjadi kidung agung yang selalu berkumandang membangunkan jiwa yang kadang tertidur lelap dalam kemudahan-kemudahan hidup yang ditawarkan sang ruang dan waktu.
Setiap kali saya menggali ubi dalam tanah wajah keriput kedua malaikat pelindung saya ini selalu muncul, setiap kali kering saya tumpah membasahi tanah, suara dan tatapan cinta kedua permata berhargaku ini selalu terngiang syahdu.

Air mata pun tak terbendung, tanpa diundang rintihan air mata haru berlomba menetes bersama keringat, air mata bercampur keringat melumuri wajah lelahku yang terbakar mentari pagi.
Dari sinilah batinku semacam tersambar petir, muncul tunas kesadaran, rupanya tiga air suci inilah yang selalu menemani hari-hari kedua orangtuaku di balik gunung dan rimba, yaa air mata, keringat dan darah selalu menjadi teman kerja mereka. Ketika saya di tempat yang super nyaman ini dengan mudahnya melahap es krim, extrajos susu, es buah, bahkan mungkin meneguk secangkir kopi di kafe terfavorit atau mungkin menerompet miras toko, di sana ada kerelaan dan ketulusan jiwa manusia yang rela menelan pil pahit dari hasil olahalam dan olahraga.

Saya semakin sadar bahwa semua kemudahan, kenyamanan dan kenikmatan yang secara buta saya alami ini tidak lain dan tidak bukan adalah buah perjuangan panjang kedua orangtuaku di dusun terpencil, inilah hidup, betapa egoisnya saya, beta durhakanya saya, betapa dangkalnya saya jika semua upaya kedua orangtua tidak saya maknai sebagai dian harapan yang selalu mengalirkan daya semangat yang bernyala-nyala.

Bertepatan dengan hari masuk Injil di tanah Papua, dengan daya refleksi yang satu dan sama saya mengajak kita semua untuk senantiasa kembali “mencicipi” keringat, air dan darah karya keselamatan Injil yang sudah dibawa oleh para misionaris asing, domestik maupun lokal. Momen spesial semacam ini harus sudah menyadarkan segenap kita untuk lebih mengengam Injil dalam ruang dan waktu apapun.

Kita harus selalu menggenang jasa para pahlawan iman kristiani yang sudah berguguran menyuburkan benih-benih firman dan iman di atas tanah Papua ini. Dengan cara apa? Ya kembali ke kharisma dan talenta yang kita miliki, sejauh mana itu semua kita persembahkan kepada semesta demi lebih dahsyat dan hebatnya kemuliaan nama Tuhan Allah di dunia, terutama di tanah yang melimpah susu dan madu.

Terimakasih Mama dan Bapa, emas nilai kehidupan yang sudah kalian tanamkan dalam nadi ini akan selalu berdampak bagi sesama yang membutuhkan. Mari kita sisipkan waktu dan ruang khusus di momen-momen bersejarah seperti hari ini untuk sejenak bijak dalam meditasi “mencicipi tiga air suci” para pendahulu yang melegenda dalam kehidupan setiap kita. Semoga....

Wisma Tiga Raja

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pastor Yance Wadogouby Yogi Memiliki Imam, Nabi, dan Raja di Jantung Papua yang Berdarah di Intan Jaya

Rencana Tuhan Pasti Indah pada Waktunya

Pater Yance Yogi Memiliki Keberanian